Latest Post

Immanuel Ebenezer dan Gibran/Ist 

 

JAKARTA Ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) usai diduga memeras sejumlah perusahaan yang menangani sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer dinilai menjilat ludahnya sendiri.

 

Akun pegiat media sosial Yurisa Agustina Samosir di X menyebutkan dirinya dipaksa membuka kembali jejak digital Immanuel setelah terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK.

 

"Saya buka lagi jejak digital Immanuel Ebenezer alias Noel yang pernah bilang muak dengan politisi koruptor, dan ternyata dia Sendiri yang ditangkap KPK," kata Yurisa dikutip pada Kamis (21/8/2025).

 

Dalam video yang diunggah Yurisa, Noel blak-blakan mengenai politisi tua yang dianggap kelabakan dengan munculnya Gibran Rakabuming Raka pada bursa Cawapres 2024 lalu.

 

"Kalau seandainya mereka ini tidak diperhatikan, ini kan ngeri. Kita sudah muaklah dengan para politisi korup yang tua ini," kata Noel.

 

Kala itu, Noel hadir dalam diskusi Indonesia Lawyer Club (ILC) TV One yang dipandu Karni Ilyas.

 

"Masa pada takut dengan hadirnya mas Gibran, dulu bung Karno dalam pidatonya mengatakan siapkan saya 10 anak muda, akan kuguncangkan dunia," imbuhnya. 

 

Kata Noel, politisi tua yang dia tidak sebutkan secara eksplisit itu kelabakan seiring mencuatnya nama Gibran di panggung nasional.

 

"Maka semoga nanti itu fase transisi politisi tua untuk siap-siap, ada yang ke kuburan, sakit stroke, dan sebagainya. Supaya proses regenerasi ini benar-benar ada. Kita sudah muak dengan cara pandang politisi tua," terangnya.

 

Noel bilang, selama ini para politisi tua hanya mewariskan persoalan dari berbagai Pemilu yang telah berlalu.

 

"Karena orang tua itu selalu berbicara masa lalu romantisme. Tapi anak muda bicara masa depan. Prabowo? Dia politisi tua yang punya semangat muda," kuncinya.

 

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto mengatakan, Immanuel ditangkap pada Rabu (20/8/2025) malam.

 

Penangkapan itu dalam rangkaian OTT terkait dugaan pemerasan terhadap sejumlah perusahaan dalam pengurusan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

 

"Sudah (di KPK) rangkaiannya dari semalam," kata Fitroh dalam keterangan tertulis, Kamis (21/8/2025).

 

Sementara itu, Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyebut penangkapan dilakukan di wilayah Jakarta. "Jakarta," ujarnya.

 

Budi menambahkan, KPK akan segera menyampaikan secara detail perkara yang menjerat Immanuel.

 

Hingga kini, lembaga antirasuah itu masih mendalami kasus dan belum menyampaikan jumlah pihak lain yang ikut diamankan dalam OTT tersebut. (fajar)


Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer Gerungan. (Antara) 

 

JAKARTA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita puluhan kendaraan roda dua dan roda empat dalam operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer.

 

"Ada puluhan mobil, dan ada motor Ducati," ujar Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis (21/8/2025).

 

Lebih lanjut Fitroh mengatakan sejumlah uang tunai turut disita dalam OTT terkait dugaan pemerasan pengurusan sertifikasi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) tersebut.

 

Sebelumnya, kabar OTT KPK terhadap Wamenaker dikonfirmasi oleh Fitroh. Ia mengatakan OTT tersebut berkaitan dengan dugaan pemerasan, dan terdapat 10 orang lainnya yang ditangkap bersama Wamenaker.

 

KPK memiliki waktu 1 x 24 jam untuk menentukan status dari pihak-pihak yang telah ditangkap tersebut. Adapun OTT tersebut merupakan yang kelima pada tahun 2025.

 

Sebelumnya, KPK melakukan OTT dan menjaring anggota DPRD dan pejabat Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, yakni pada Maret 2025.

 

Kedua, pada Juni 2025, OTT terkait dugaan suap proyek pembangunan jalan di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Sumut, dan Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah I Sumut.

 

Ketiga, OTT selama 7-8 Agustus 2025, di Jakarta; Kendari, Sulawesi Tenggara; dan Makassar, Sulawesi Selatan. OTT tersebut terkait kasus dugaan korupsi proyek pembangunan rumah sakit umum daerah di Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara.

 

Keempat, OTT di Jakarta pada 13 Agustus 2025, mengenai dugaan suap terkait dengan kerja sama pengelolaan kawasan hutan. (era)

 

Gedung DPR RI. (Foto: RMOL/Faisal Aristama) 

 

JAKARTA Undangan demonstrasi di Gedung DPR RI pada hari Senin, 25 Agustus 2025, beredar luas di media sosial dan WhatsApp. Seruan “Revolusi Rakyat Indonesia” ini menarik minat berbagai kalangan, termasuk mahasiswa, buruh, petani, pekerja outsourcing, hingga tokoh masyarakat.

 

Melalui undangan digital yang diterima redaksi pada Kamis, 21 Agustus 2025, para pengunjuk rasa menyampaikan sejumlah tuntutan kepada DPR, antara lain isu korupsi, dugaan pelanggaran konstitusi, kenaikan pajak, hingga polemik utang negara.

 

Ajakan bertindak tersebut antara lain berupa ajakan kepada masyarakat untuk bersatu dan mendesak DPR menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah.

 

“Jangan kasih kendor, terus desak DPR melakukan tugasnya sebagai alat kontrol pemerintah,” demikian tertulis dalam selebaran yang beredar.

 

Secara spesifik, aksi ini menuntut pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dan usut tuntas dugaan korupsi yang menyasar Jokowi dan dinastinya.

 

Tuntutan juga diarahkan kepada pemerintah terkait proyek strategis nasional (PSN) terutama kelanjutan IKN, kebijakan perpajakan, serta persoalan pengelolaan sumber daya alam.

 

Selain itu, seruan tersebut juga meminta DPR untuk mengusut tuntas dugaan kecurangan Pemilu 2024, termasuk mendesak pemilu ulang.

 

Selebaran itu turut menyinggung berbagai isu lain seperti mafia pertambangan, mafia tanah, krisis pangan, mahalnya biaya pendidikan, hingga ketidakadilan dalam pembagian hasil pertambangan. (rmol)

 

Terdakwa Muhammad Arif Nuryanta, mantan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, menjalani sidang perdana kasus dugaan suap vonis lepas perkara minyak goreng di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. (Sumber: Poskota/Ramot Sormin) 

 

JAKARTA — Sidang kasus dugaan suap dalam ekspor Minyak Sawit Mentah (CPO) atau minyak goreng terhadap tiga perusahaan digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat pada Rabu, 20 Agustus 2025.

 

Para terdakwa dalam persidangan ini adalah mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta, dan Panitera Muda (Panmud) Hukum Perdata pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Wahyu Gunawan.

 

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Jaksa Agung mengatakan keduanya menerima suap senilai Rp40 miliar atau setara 2.500.000 dolar AS.

 

Uang itu diberikan untuk memengaruhi majelis hakim agar memutuskan lepas kasus korupsi migor dengan terdakwa korporasi PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musi Mas Group.

 

Dari jumlah tersebut, JPU merinci Arif Nuryanta menerima Rp15,7 miliar, Wahyu Gunawan Rp2,4 miliar, Djuyamto Rp9,5 miliar, Agam Syarif Baharuddin Rp6,2 miliar, dan Ali Muhtarom Rp6,2 miliar.

 

Menurut JPU, uang berasal dari penasihat hukum korporasi, yakni Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M Syafei.

 

"Padahal uang tersebut diketahui untuk mempengaruhi putusan Djuyamto, Agam, dan Ali selaku majelis hakim yang menangani kasus korupsi minyak goreng yang kemudian agar diputus lepas," kata JPU.

 

Awal mula suap terjadi ketika Ariyanto menemui Wahyu Gunawan di rumahnya. Saat itu Ariyanto menanyakan apakah Wahyu memiliki kenalan pejabat di PN Jakarta Pusat. Wahyu lalu menjawab mengenal M Arif Nuryanta.

 

Selanjutnya Wahyu menghubungi Arif dan mendapat informasi bahwa hakim yang akan menangani perkara adalah Djuyamto.

 

JPU mengungkap Ariyanto sempat menawarkan Rp20 miliar melalui Wahyu kepada Djuyamto agar eksepsinya dikabulkan. Namun Djuyamto menolak.

 

"Eksepsi tidak dapat dikabulkan. Djuyamto meminta agar Wahyu berkoordinasi dengan M Arif Nuryanta," ujar JPU.

 

Dalam pertemuan di Kelapa Gading, Ariyanto menyampaikan pesan kepada Arif.

 

"Pak titip perkara korupsi migor dan tolong dimaksimalkan untuk dibantu," ucapnya.

 

Arif hanya menjawab belum bisa memberi kabar sebelum majelis hakim bermusyawarah. Beberapa waktu kemudian, Ariyanto memberikan Rp8 miliar melalui Wahyu.

 

"Sampaikan kepada M Arif Nuryanta, ini uang untuk dibantu terkait perkara korupsi migor," kata Ariyanto. Uang itu lalu diserahkan Wahyu kepada Arif yang menjawab singkat, "thanks."

 

Dalam komunikasi selanjutnya, Arif meminta komitmen lebih besar. Di suatu pertemuan, M Arif Nuryanta meminta keseriusan Ariyanto jika ingin dibantu dan dijawab Ariyanto " Ok. Satu paket Rp 20 miliar".

 

"Bagaimana mungkin saya membagi dengan majelis, kalau 3 juta dolar, saya ok," kata Arif.

 

Ariyanto lalu menghubungi Marcella Santoso yang kemudian meminta M Syafei menyiapkan Rp60 miliar.

 

Uang itu diserahkan dalam dua koper berisi 2 juta dolar AS, lalu dibagi kepada Arif, Wahyu, Djuyamto, Agam, dan Ali.

 

Atas perbuatannya, Arif didakwa melanggar Pasal 12 huruf C juncto Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, dengan sejumlah pasal alternatif lain dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (poskota)

 

Presiden Prabowo Subiant. (Foto: Artificial Inteligence) 

 

OLEH: AHMADIE THAHAADA

ADA mazhab kapitalisme, sosialisme, liberalisme, neoliberalisme. Semua sudah kita dengar dalam buku teks. Tapi tiba-tiba, di bulan Juli 2025, dari mulut Presiden Prabowo Subianto lahir istilah baru: “serakahnomics.”

 

Sebuah mazhab ekonomi yang tak pernah ada di buku Samuelson atau di kurikulum Fakultas Ekonomi. Bahkan Maslow pun, dengan piramidanya, tak pernah membayangkan bahwa di puncak kebutuhan manusia ternyata bukan “aktualisasi diri,” melainkan “aktualisasi keserakahan.”

 

Saya mencatat, Prabowo menyebut kata itu berkali-kali: 20 Juli di Kongres PSI di Solo, 21 Juli di Klaten saat meresmikan Koperasi Desa Merah Putih, 23 Juli di Harlah PKB di Jakarta. Lalu puncaknya 15 Agustus di Sidang Kenegaraan di Senayan.

 

Luar biasa konsisten Prabowo dengan istilah yang diperkenalkannya. Hingga, seakan-akan “serakahnomics” sedang dipromosikan seperti sebuah merek baru, meski konotasinya negatif dan penuh ancaman. Saking seringnya diucapkan, istilah itu nyaris layak masuk KBBI.

 

Bersama promosi itu, ancaman demi ancaman pun meluncur: dari “akan saya sita penggiling padi nakal” hingga “tidak ada ruang bagi pelaku serakahnomics.”

 

Masalahnya, rakyat sudah kenyang dengan ancaman yang tak pernah jadi kenyataan. Seperti parang yang terlalu sering dihunus tapi tak pernah menebas, ujungnya jadi tumpul.

 

Rakyat pun bertanya: apakah ancaman itu juga berlaku bagi para oligarki tanah yang menguasai lebih dari 7 juta hektare lahan sawit, di mana 1 persen perusahaan mengendalikan hampir 50 persej konsesi?

 

Apakah juga berlaku bagi segelintir konglomerat yang menguasai 70 persen aset perbankan nasional? Atau bagi gurita bisnis tambang dan energi yang dikuasai beberapa keluarga politik-ekonomi? Bukankah semua itu masuk kategori keserakahan?

 

Jika “serakahnomics” benar-benar musuh negara, maka logikanya para oligarkilah yang paling layak diancam. Namun publik khawatir: jangan-jangan yang disita nanti hanya penggilingan padi milik rakyat kelas menengah.

 

Itu pun baru ancaman omon-omon belaka. Sementara itu, para raksasa pemilik jutaan hektare lahan tetap duduk nyaman di kursi direksi, sambil tersenyum melihat ancaman presiden berakhir seperti guntur tanpa hujan.

 

Selain itu, pertanyaan lain pun menggelitik: apakah ini sekadar pencitraan politik, sebuah “branding” untuk menunjukkan keberpihakan pada rakyat. Ataukah sungguh ini langkah pembongkaran keserakahan ekonomi yang telah berakar puluhan tahun?

 

Mari pakai logika angka. Menurut Presiden, praktik nakal di penggilingan padi menyebabkan kerugian Rp100 triliun per tahun. Angka itu setara dengan bisa memperbaiki 100 ribu sekolah. Mengapa hanya itu yang disebut?

 

Masalahnya lagi bahwa sudah bertahun-tahun kita mendengar angka kerugian triliunan akibat korupsi, mafia, dan kartel. Bukankah negeri ini piawai mengubah angka triliun menjadi sekadar alasan tap in di sidang DPR, tanpa hasil konkret?

 

Maka, jika benar Rp100 triliun atau sebutkan angka lebih besar lainnya bisa dipulihkan, rakyat tidak lagi menunggu renovasi sekolah bocor sambil berdoa agar anak-anak tidak belajar di ruang kelas becek. Tapi, itu terjadi kalau ancaman Prabowo bukan sekadar omon-omon.

 

Dalam teori ekonomi, keserakahan biasanya dibungkus eufemisme “rational self-interest.” Adam Smith bilang, kalau tiap individu mengejar kepentingannya, tangan gaib akan menyeimbangkan pasar.

 

Tapi Prabowo tampaknya ingin membuka tabir bahwa tangan gaib itu sering berubah menjadi “tangan jahil” yang menimbun beras di gudang lalu menjualnya sebagai beras premium.

 

Maslow hanya bicara soal kebutuhan sandang, pangan, papan, hingga aktualisasi diri. Tapi Nabi Muhammad SAW bersabda jauh lebih relevan: “Bukanlah kaya itu dengan banyaknya harta, tetapi kaya adalah hati yang merasa cukup.” (HR. Bukhari-Muslim).

 

Hadits ini seolah menampar wajah serakahnomics, sebab dalam mazhab itu, yang dianggap mulia bukan hati yang cukup, melainkan gudang yang penuh.

 

Sarkasme memang mudah, tapi solusi jauh lebih sulit. Jika Presiden serius, maka jargon “serakahnomics” perlu ditopang tiga hal.

 

Pertama, tindakan hukum nyata. Kartel pangan, penimbun, dan spekulan jangan hanya diancam, tapi benar-benar diseret ke meja hijau. Bila perlu, beri tontonan nasional, bukan sekadar konferensi pers.

 

Kedua, reformasi sistem distribusi. Koperasi jangan hanya jadi kata sakti di pidato. Harus diberi insentif, perlindungan, dan kapasitas manajemen agar mampu melawan raksasa-raksasa penggilingan.

 

Ketiga, pendidikan anti-serakah. Jika tiap tahun ada Rp100 triliun bocor karena rakus, lebih penting lagi mendidik generasi muda agar tidak mengulang pola yang sama.

 

Bayangkan, jika pendidikan karakter digabung dengan program makan bergizi gratis, anak-anak tidak hanya kenyang gizinya, tapi juga kenyang nilai keadilan.

 

Akhirul kalam, di panggung politik istilah baru sering lahir demi citra. Tapi rakyat tidak makan istilah, rakyat makan nasi. Jika benar “serakahnomics” ingin dibasmi, maka buktinya harus sampai ke meja makan, bukan berhenti di mimbar DPR.

 

Humor pahitnya begini: mungkin kelak Prabowo bisa menulis buku teks baru, “Serakahnomics 101: Dari Kartel ke Koperasi.” Namun rakyat akan bertanya lebih serius: apakah ini hanya retorika, atau benar-benar revolusi?

 

Kalau jawabannya sungguh-sungguh, mungkin untuk pertama kalinya mazhab baru ini akan mati sebelum berkembang. Dan itu justru kabar baik bagi republik yang sudah terlalu kenyang dengan keserakahan. ** 


Penulis adalah Wartawan Senior dan Kolumnis

 

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.