Latest Post



OLEH: MARWAN BATUBARA

PADA tanggal 10 Maret 2022, pemerintah (Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan) resmi mematok aturan domestic market obligation (DMO) minyak sawit (crude palm oil, CPO) sebesar 30 persen yang wajib dijual di pasar domestik dari total produksi CPO Indonesia.

 

Sesuai Peraturan Dirjen Kemendag ini, harga maksimum DMO adalah Rp 9.300 per kilogram (kg) untuk CPO dan Rp 10.300 per kg untuk olein (fraksi cair minyak sawit tahan oksidasi). DMO ini merupakan syarat bagi eksportir CPO dan turunannya dapat izin ekspor.

 

Pada saat yang sama, Kemendag menyatakan peraturan DMO 30 persen ini memperkuat keputusan sebelumnya tentang Harga Eceran Tertinggi (HET). Seperti diketahui, Permendag No.6/2022 telah menetapkan HET minyak goreng (migor) dibagi dalam tiga kelompok, yakni HET migor kemasan premium senilai Rp 14.000 per liter, migor kemasan sederhana senilai Rp 13.500 per liter, dan migor curah senilai Rp 11.500 per liter.

 

Dengan kewajiban DMO sebesar 30 persen, jika tahun 2022 ini produksi total  CPO nasional diperkirakan sebesar 51 juta ton, maka pasokan minyak sawit (termasuk olein) untuk konsumsi domestik akan mencapai 15,3 juta ton.

 

Sedangkan biasanya rata-rata kebutuhan domestik sawit nasional, termasuk program biosolar B20/B30, untuk domestik sekitar 10 hingga 12 juta ton. Dengan terpenuhinya kebutuhan ini, maka mestinya kelangkaan migor domestik tidak lagi terjadi.

 

Indonesia merupakan produsen terbesar CPO dunia. Sedangkan konsumsi domestik hanya sekitar 25 hingga 30 persen dari total produksi CPO nasional. Lantas, di tengah lumbung CPO ini, mengapa gonjang-ganjing harga dan nestapa migor masih terus berlangsung, hingga berbulan-bulan? Berikut diuraikan beberapa penyebab mengapa “rakyat mati di lumbung CPO”.

 

Pertama, karena negara melalui Pemerintahan Jokowi tidak atau belum hadir guna mengurus dan mengatur kebutuhan rakyat yang vital tersebut secara komprehensif, terarah dan berkelanjutan. Mayoritas rakyat yang berada dalam posisi lemah tampaknya bukan prioritas yang harus diurus dan diselamatkan kebutuhan pokoknya.

 

Bagi pemerintah yang menganut ekonomi sangat liberal, kepentingan oligarki, pengusaha sawit dan maksimalisasi penerimaan APBN dari naiknya harga CPO jauh lebih penting dibanding urusan hajat hidup vital rakyat.

 

Kedua, meskipun memiliki otoritas, membuat kebijakan dan menetapkan aturan, Pemerintah cenderung gagal membuat aturan antisipatif dan gagal pula belajar dari pengalaman naiknya harga CPO masa lalu.

 

Meskipun telah menerbitkan empat peraturan dalam dua bulan terakhir, yakni Permendag 1/2022, Permendag 3/2022, dan Permendag 6/2022 dan Peraturan Dirjen yang disebut di atas, kelangkaan migor masih berlangsung, rakyat mengantri panjang berjam-jam, dan bahkan di Berau, Kaltim, (12/3/2022) sampai ada yang meninggal!

 

Ketiga, kebijakan pemerintah tidak solid karena adanya intervensi oligarki. Akibatnya terbit aturan-aturan yang bersifat interim, coba-coba dan sewaktu-waktu bisa berubah, karena yang menjadi fokus perhatian bukanlah rakyat banyak, tetapi kepentingan oligarki, program biodiesel (B20 & B30) menggunakan dana pungutan BPDPKS yang sangat menguntungkan oligarki, dan pengamanan penerimaan APBN yang terancam defisit besar.

 

Keempat, lemahnya pengawasan, penegakan hukum serta tidak jelas dan tegasnya sanksi atas pelaku penyelewengan. Harga migor subsidi untuk mayoritas rakyat (terutama migor jenis curah) memang lebih murah dibanding migor non-subsidi sektor industri dan migor golongan mampu. Karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, oknum-oknum pengawas, aparat negara dan penegak hukum justru terlibat berbagai kejahatan: menjual migor subsidi ke sektor industri dan sektor non-subsidi, menimbun atau bahkan menyeludupkan migor.

 

Kelima, sejumlah pengusaha sawit merupakan perusahaan terintegrasi yang juga memiliki jaringan bisnis di sektor industri dan sektor-sektor lain di hilir yang mestinya tidak berhak mengkonsumsi migor subsidi. Jika di satu sisi pengawasan dan penegakan hukum lemah, dan di sisi lain jaringan terintegrasi tersebut demikian luas dan mencengkeram, serta ditambah pula dengan prilaku moral hazard, maka penyelewengan akan mudah dan terus berlangsung.

 

Keenam, besarnya windfall profit dari naiknya harga CPO (mencapai 71 persen dalam setahun terakhir) jelas akan menambah kemampuan keuangan negara. Dengan besarnya windfall profit yang diperoleh pengusaha sawit, mestinya pemerintah pun memperoleh dana tambahan penerimaan APBN yang besar pula, berupa windfall profit tax, atau pajak progresif ekspor CPO. Dana tambahan ini sangat besar untuk mampu mengendalikan harga migor subsidi, sehingga rakyat tidak perlu mengantri. Namun subsidi migor rakyat tersebut tidak terjadi.

 

Meskipun potensi dana tersebut sangat besar, kita tidak paham apakah windfall profit tax/pajak progresif tersebut telah benar-benar diterapkan, nilainya berkeadilan dan digunakan untuk pembelanjaan APBN yang mendesak dan prioritas. Untung besar dari windfall harga CPO sangat BESAR untuk bisa dimanfaatkan oleh oligarki dan pelaku moral hazard untuk mempertahankan dominasi kekuasaan dibanding untuk kepentingan rakyat secara adil dan transparan. Dalam hal ini, rakyat harus meminta BPK mengaudit dan KPK mengusut tuntas penerapan dan penggunaan windfall profit tax, serta mengadili para pencoleng.

 

Di samping pajak ekspor progresif CPO, pemerintah pun telah memperoleh dana dari pungutan ekspor yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). BPDPKS yang merupakan Badan Layanan Umum ini merupakan unit organisasi di bawah Menteri Keuangan. Dalam dua tahun terakhir, 2020-2021 subsidi biodiesel dari BPDPKS kepada perusahaan pemasok biodiesel (umumnya pengusaha oligarkis) sekitar Rp 79,86 triliun.

 

Dengan dua sumber penerimaan, yakni pajak ekspor (harus progresif) dan pungutan ekspor (oleh BPDPKS) mestinya negara sangat mampu mensubsidi harga migor agar tersedia bagi rakyat dengan harga terjangkau. Rakyat pun tak perlu menderita dan mengantri migor ratusan meter selama berjam-jam. Namun hal ini gagal dijalankan Pemerintahan Jokowi! Jika ditambah enam masalah dan kegagalan pemerintah yang diuraikan di atas, terutama, maka lengkaplah kegagalan Presiden Jokowi, sehingga layak dituntut untuk mundur dan bertanggungjawab!

 

Merujuk pada Ayat (2) dan (3) Pasal 33 UUD 1945, Cabang-cabang produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara; sedangkan bumi, air dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Fakta di lapangan, para pengusaha CPO (sekitar 40 persen adalah asing dari Malaysia, China, dll) justru menguasai lahan milik negara dalam bentuk hak guna usaha (HGU), terutama beroperasi terutama di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Mereka para pengusaha inilah yang memperoleh manfaat terbesar lahan negara!

 

Dengan kebijakan dan peraturan yang berlaku, para pengusaha CPO malah mendapat keuntungan terbesar dari lahan negara yang luasnya ratusan ribu hingga jutaan hektar. Sebaliknya, rakyat memperoleh bagian yang lebih kecil. Bahkan untuk memperoleh migor sesuai harga keekonomian saja (Rp 14.000), rakyat harus berjuang keras dan menderita, dan Pemerintahan Jokowi pun gagal melindungi kebutuhan rakyat tersebut!

 

Kondisi dan kebijakan Pemerintahan Jokowi yang tidak adil, anti Pancasila & UUD 1945 ini harus segera diakhiri. Rakyat harus segera bersikap dan bergerak menyatakan sikap, serta melakukan perlawanan terbuka. Tidak layak bagi rakyat menjadi pecundang di tengah prilaku penyelenggara negara yang pro oligarki dan sarat kepentingan mempertahankan kekuasaan.

 

Rakyat pantas menuntut MPR segera memproses pemakzulan Presiden Jokowi. Mengurus kebutuhan dasar rakyat saja tak mampu, mengapa pula minta perpanjangan masa jabatan? Sebenarnya lebih pantas jika Presiden Jokowi mundur!

 

(Penulis adalah Koordinator Poros Nasional Pemberantasan Korupsi (PNPK)



 

SANCAnews.id – Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJH) Kementerian Agama RI menetapkan label halal baru yang berlaku nasional. Namun, bentuk logo halal tersebut menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.

 

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat (Sumbar), Buya Gusrizal Gazahar Dt Palimo Basa, turut mengomentari logo halal tersebut.

 

"Saya melihat kemenag dengan menterinya yang sekarang semakin jauh dari menumbuhkan rasa kebersamaan dalam kehidupan berbangsa," kata Doktor Gusrizal, dikutip dari Minangkabaunews.com - jaringan Suara.com, Minggu (13/3/2022).

 

“Cita rasa monopoli dan tak memandang sisi lain dari umat, semakin kental dihadirkan. Undang-undang sebenarnya telah mengamanahkan bahwa dalam perkara sertifikasi halal," katanya lagi.

 

Menurut Buya Gusrizal, Kemenag melalui BPJPH bukanlah pengelola tunggal. Sejatinya, kehadiran Kemenag lebih kepada regulator yang tidak full menjadi eksekutor.

 

"Ada banyak unsur yang harus berkolaborasi. Ada LPH (Lembaga Pemeriksa Halal) dan juga ada MUI melalui Komisi Fatwa yang menetapkan kehalalan suatu produk setelah di audit,” katanya.

 

“Jika kemenag dan menag menyadari hal ini, sepatutnya logo yang dirancang kalau tidak akan menggunakan logo yang lama adalah logo yang menampilkan kolaborasi tersebut. Apalagi saya dengar, sudah ada pembicaraan antara pihak MUI dengan BPJPH tentang logo halal yang baru. Hanya saja yang ditampilkan bukan yang telah dirancang bersama tersebut,” katanya lagi.

 

Gusrizal mengatakan, logo yang ditampilkan kemenag juga mendapat sorotan dari sisi penulisan khathnya yang bisa saja diplesetkan bacaannya menjadi “haram” dan bukannya “halal”. Sebab, ada kemungkinan huruf terakhir dilihat seperti huruf “mim” terbalik.

 

Selain itu, design logo yang terlalu kental menampilkan simbol satu budaya di tengah keragaman Bangsa Indonesia, terkesan tidak merangkul seluruh elemen bangsa. Bahkan, bisa diartikan misi kesukuan yang tak akan membuat nyaman karena logo itu akan dipakai oleh berbagai etnis bahkan sampai ke luar negeri.

 

“Jadi Pak Menag, tiada yang lebih indah dari kebersamaan. Tak perlu bangga dengan saling meninggalkan. Buatlah suatu simbol yang merangkum kebersamaan agar ia menjadi perekat keragaman. Ini saya sampaikan karena masalah ini tak boleh dipandang sebatas kewenangan dan kepentingan tapi juga harus dilihat dari sisi kebutuhan umat. Wallâhu a’lam,” tutup Gusrizal. ***



 

SANCAnews.id – Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama mengeluarkan label atau logo halal baru yang mirip gunungan wayang. Mengacu pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, secara bertahap logo halal dari MUI tidak akan berlaku lagi.

 

Menyikapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas menyampaikan, meski Kemenag mengeluarkan logo halal baru, namun MUI sebagai lembaga yang mengeluarkan sertifikasi halal mestinya logo MUI juga dicantumkan di dalamnya.

 

“Yang jadi pertanyaannya adalah, yang bicara halal dan tidak halalnya kan Majelis Ulama, di mana selama ini saya mendasarkannya kepada audit dari lembaga halal,” ucap Anwar kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (13/3).

 

Dari hasil audit para peneliti makanan atau barang tersebut, Anwar mengatakan pemerintah menyerahkannya kepada MUI untuk mengeluarkan sertfikasi halalnya.

 

“Mereka bawa kepada MUI, dalam hal ini komisi fatwa. Di sana dibahas, kemudian dilihat ingredient-ingredient atau komposisi (produk) itu. Kalau seandainya sudah tidak bermasalah ya berarti di keluarkan fatwa halalnya oleh MUI,” ujarnya.

 

“Kemudian, begitu dikeluarkan fatwa halalnya dibuatlah sertifikat halalnya oleh BPJPH, pemerintah tidak bisa mengeluarkan sertifikat halal,” imbuhnya.

 

Dia menambahkan, MUI dalam hal ini komisi fatwa sudah menyatakan bahwa halal atau tidaknya produk tertentu semestinya ada logo MUI.

 

“Sebaiknya, kalau dibuat simbolisasi semestinya, wajar sekali ada logo MUI. Jadi logo itu sebetulnya ada 3 lapis tapi keduanya itu BPJPH di dalamnya,” katanya.

 

Mengenai tulisan halal dalam logo baru pemerintah menurutnya esensinya sama saja. Meski interpretasi di mata masyarakat berbeda mengenai tulisan yang tertera dalam logo tersebut.

 

“Ada tulisan bahasa arab, MUI yang tengahnya lagi halal itu yang pernah tahu kalau sekarang ini kan kalau dilihat dari sisi indah ya. Indah kalau orang di dunia, logo-logo halal dunia itu lambang halalnya jelas semua,” tutupnya. (*)



 

SANCAnews.id – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan (LBP) harus membuktikan klaimnya terkait sebagian kader partai dan pemilih partai politik menginginkan perhelatan Pemilu 2024 ditunda.

 

Demikian pernyataan pengamat politik Jamiluddin Ritonga dalam menyikapi polemik pernyataan Luhut Binsar Panjaitan yang mengklaim pemilih PDI Perjuangan, Demokrat dan Gerindra menginginkan wacana penundaan Pemilu 2024, Minggu (13/3).

 

"Klaim LBP tersebut bertentangan dengan hasil survei di mana sebagian besar responden tidak menginginkan pemilu 2024 ditunda,” tegas Jamiluddin kepada Kantor Berita Politik RMOL.

 

Menurutnya, sebagai pembantu Presiden Jokowi yang mengurusi masalah kemaritiman dan investasi, Luhut tidak perlu ikut mencampuri munculnya wacana penundaan Pemilu 2024.

 

"Sebagai pejabat eksekutif, LBP tak seharusnya ikut-ikutan menyuarakan penundaan pemilu 2024. LBP seharusnya hanya menjalankan tugas dan fungsinya. Sungguh aneh bila LBP terkesan menjadi jurubicara partai politik. Celakanya, justru partai politik menolak klaim LBP,” tutupnya.

 

Saat hadir di acara Podcast Deddy Corbuzier, Luhut mengklaim memiliki data tentang pemilih Partai Demokrat, Gerindra dan PDIP mendukung usulan penundaan Pemilu 2024.

 

Bahkan dari Big Data yang ia miliki, data 110 juta orang melakukan percakapan terkait wacana penundaan Pemilu.

 

Dari klaim dari data 110 Juta orang itu, Luhut mengungkapkan bahwa masyarakat tidak setuju akan penyelenggaraan Pemilu di masa pandemi. Kata Luhut, rakyat tidak ingin dana Rp 110 Triliun digunakan untuk penyelenggaraan Pemilu (rmol)




SANCAnews.id – Klaim Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Pandjaitan terkait dukungan Arab Saudi terhadap pembangunan Ibu kota negara (IKN) baru mendapat kritikan. Luhut dinilai tidak memiliki kapasitas membangun Indonesia.

 

Managing Director Political Economy and Policy Studies, Anthony Budiawan mengatakan, Luhut tidak memiliki kapasitas dan nampak berkhayal dalam menjalankan agenda pembanguanan. Ia juga menyebut Luhut kerap menggunakan data bodong yang justru menjerumuskan Indonesia di ambang kehancuran.

 

"Tidak kapasitas, berkhayal tinggi, data bodong semua. Indonesia di jurang kehancuran," demikian cuitan Anthony dalam laman Twitter pribadinya, Minggu (13/3).

 

Anthony kemudian mengungkapkan sebuah fakta, saat Luhut berbicara banyak terkait investasi IKN melalui Lembaga pengelila Investasi atau Sovereign Wealth Fund (SWF) yang terjadi justru Softbank mundur dari rencana investasi di IKN. 

 

"Bagaimana SWF, Lembaga Pengelola Investasi? Bicara besar, hasil masih nihil. Softbank lari. Saudi Arabia dikejar, mau investasi di IKN? Rakyat mau dibodohi lagi?" kritik terbuka Anthony.

 

Beberapa hari lalu, seraya mengunggah foto bersama putra mahkota Kerajaan Arab Saudi, Muhammad bin Salman bin Abdul Aziz Al Saud, Luhut mengklaim bahwa Arab Saudi tertarik untuk menggarap sejumlah proyek di Indonesia. Salah satunya, pembangunan IKN.

 

Bahkan Luhut menyatakan pihak Arab Saudi dalam waktu dekat akan datang ke Indonesia untuk membicarakan teknis investasinya. Sementara dari pihak Indonesia, Luhut mengaku Presiden Jokowi sudah setuju untuk membentuk tim khusus menindaklanjuti peluang kerja sama dengan Arab Saudi. (rmol)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.