Latest Post


 

SANCAnews.id – Dewan Adat Dayak Kalimantan Barat, resmi melaporkan aktivis Nicho Silalahi karena dianggap menghina Kalimantan.

 

Nicho Silalahi dilaporkan di Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Kalimantan Barat, pada Rabu 2 Februari 2022 kemarin.

 

“Pada hari ini kami Dewan Adat Dayak Provinsi Kalimantan Barat membuat laporan terkait tulisan yang sempat viral di media sosial Nicho Silalahi,” ujar Ketua DAD Kalbar Jakeus Sinyor kepada wartawan.

 

Dalam laporan itu, DAD didampingi juga oleh etnis Kalimantan Barat yakni perkumpulan merah putih.

 

“Tentu tujuan kami untuk melapor pertama kita untuk meredam kerisuhan masyarakat yang ada, yang ditulis oleh Nicho Silalahi,” ujar Jakeus.

 

Jakesu Sinyor berharap polisi bisa menindaklanjuti laporan tersebut.

 

“Tentu harapan saya kepada pihak kepolisian ini segera ditindaklanjuti, siapapun pemilik akun Twitter Nicho Silalahi ini adalah person, karena gara – gara dia ini masyarakat resah,” jelasnya.

 

Adapun cuita Nicho Silalahi di Twitter @nicho_silalahi berbunyi:

 

“Saat Hutan ditebang, banjir merendam rumah warga kurang lebih sebulan, perempuannya dijual ke China untuk dijadikan budak seks, anak-anak pada mati tenggelam di bekas galian tambang kalian pada diam, Tapi saat ada yang mengatakan “Tempat Jin Buang Anak” kalian Demo. Sebenarnya kalian siapa?”.

 

Cuitan Nicho itu merespon kasus Edy Mulyadi soal Kalimantan ‘tempat jin buang anak.' (fajar)




SANCAnews.id – Tuntutan hukuman mati yang dipilih Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk Munarman dalam perkara dugaan tindak pidana terorisme terus menuai kecaman publik. Apalagi, JPU beralasan bahwa tuntutan mati itu diberikan karena Munarman dianggap sebagai orang yang paling berpengaruh di dalam organisasi FPI.

 

Bagi Ketua Majelis Jaringan Akivis Pro Demokrasi (ProDEM) Iwan Sumule, tuntutan yang disampaikan JPU tidak layak dijatuhkan pada seorang Munarman.

 

“Bukti hukum milik penguasa. Tuduhan sebagai teroris saja tak patut, apalagi dituntut?” tegasnya saat berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (3/2).

 

Menurutnya, Munarman merupakan sosok aktivis yang selalu berdiri tegak membela kepentingan rakyat. Munarman bahkan tercatat sebagai Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menggantikan Bambang Widjojanto. Selain itu, Munarman juga sempat aktif di Kontras, yang artinya pembelaan terhadap nasib rakyat merupakan makanan sehari-hari Munarman.

 

“Jejak keaktivisan kawan Munarman, dalam setiap tarikan nafasnya selalu membela rakyat malah dituduh sebagai pelaku teror. Penguasa tampaknya merasa terteror ketika (Munarman) membela rakyat. Iya gak sih?” tutupnya.

 

JPU menjelaskan, tuntutan hukuman mati yang dilayangkan kepada mantan Sekretaris Umum FPI ini diatur di dalam pasal 14 UU 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

 

Dalam pasal tersebut disebutkan, jika seseorang yang memiliki kedudukan tinggi dan berpengaruh dapat diancam hukuman mati.

 

”Yang saya ketahui pertama itu Beliau (Munarman-red) ketua daripada lembaga hukum yang ada di FPI. Yang kedua beliau sekretaris. Jadi artinya terdakwa memiliki kedudukan yang terhormat dan pengaruh yang kuat di FPI,” jelas JPU. **



 

SANCAnews.id – Jagat media sosial kembali diramaikan pembicaraan mengenai sosok Munarman. Eks Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI) Munarman menjadi trending tipik Twitter pada Kamis (3/2/2022).

 

Penyebabnya, Munarman dijerat dengan pasal dengan yang memungkinan hukuman mati oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus tindak pidana terorisme.

 

JPU beralasan, penggunaan pasal hukuman mati ini lantaran Munarman dianggap orang yang paling berpengaruh di dalam organisasi FPI.

 

Tuntutan hukuman Mati Munarman itu disampaikan JPU dalam sidang lanjutan kasus dugaan tindak pidana terorisme, di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Rabu (2/2/2022).

 

Dalam persidangan tersebut, JPU menanyakan kepada AR selaku saksi yang dihadirkan terkait kedudukan Munarman di organisasi FPI.

 

JPU menyinggung pasal 14 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme karena pasal tersebut menerangkan hukuman mati baru dapat digunakan kepada seseorang yang berpengaruh dan memiliki kedudukan tinggi.

 

“Harus orang yang intelektual. Artinya orang yang didakwa dengan dakwaan ini adalah orang yang memiliki pemahaman tinggi tentang ilmu atau mempunyai pengaruh.”

 

”Yang saya ketahui pertama itu beliau (Munarman) ketua daripada lembaga hukum yang ada di FPI, yang kedua beliau sekertaris. Jadi artinya terdawa memiliki kedudukan yang terhormat dan pengaruh yang kuat di FPI, betul?,” tanya JPU kepada saksi AR

 

Adapun bunyi pasal 14 yakni "Setiap orang yang dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 10A, pasal 12, pasal 12A, dan pasal 12B, dipidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 tahun."

 

Namun di tengah persidangan saat JPU menanyakan hal tersebut kepada saksi, Majelis Hakim memotong pertanyaan JPU.Majelis Hakim menegur JPU Karena apa yang ditanyakan mengarahkan kepada kesimpulan.

 

Munarman cecar saksi 

Dalam sidang tersebut, Munarman mengonfirmasi kehadirannya dalam acara seminar berkedok baiat ISIS pada 24-25 Januari 2015 lalu.

 

Ia bertanya kepada saksi berinisial AR, mantan laskar Front Pembela Islam (FPI) Makassar yang hadir dalam acara tersebut.

 

"Ada enggak saya menyuruh saudara atau saudara Agus Salim atau Habib Muhsin (panitia acara) untuk melaksanakan seminar itu?" tanya Munarman.

 

Kemudian AR menjawab, "tidak ada."

 

Munarman lantas bertanya lagi. "Ada enggak saya memberikan biaya untuk pelaksanaan seminar itu?" ucap Munarman.

 

"Tidak ada," jawab AR.

 

Munarman kembali melontarkan pertanyaan kepada AR, "Adakah pada saat seminar itu saya menyuruh membunuh orang? Adakah saat seminar itu saya menyuruh ngebom?" tanya Munarman.

 

AR pun kembali menjawab, "tidak ada."

 

Setelah itu, Munarman mengungkit kejadian saat AR dihadirkan tim penyidik Polda Metro Jaya saat rekonstruksi.

 

Menurut Munarman, ketika rekonstruksi di Polda Metro Jaya, AR menyebutkan bahwa tidak ada pembaiatan. Namun, saat sidang, saksi berkata sebaliknya.

 

"Saya tanyakan kepada saudara karena pada saat kita rekonstruksi, saya masih ingat itu. Ingat betul rekonstruksi di Polda kan?" tanya Munarman.

 

"Iya (ingat)," jawab AR.

 

"Saudara menyatakan (saat rekonstruksi) di acara tidak ada baiat, kita sempat bersitegang pada saat itu. Ingat ya, waktu itu saudara menyatakan tidak ada baiat? "tanya Munarman.

 

"Iya, tidak menyaksikan (baiat)," jawab AR.

 

"Sekarang saudara bilang menyaksikan, waktu itu saudara ngotot?" tanya Munarman lagi.

 

Iya, saya tidak menyaksikan," ujar AR.

 

Dianggap berlebihan 

Sejumlah pihak menilai pasal yang dikenakan kepada Munarman berlebihan. Ketua Umum ProDemokrasi, Iwan Sumule salah satu pihak yang memandang bahwa kasus yang menjerat Munarman adalah tudingan yang mengada-ada.

 

Ia menyebut, Munarman sebagai seorang aktivis yang lama ia kenal, tidak pantas dituding sebagai teroris. Apalagi dijerat dengan pasal yang memungkinan Munarman dihukum mati.

 

"Bukti hukum milik penguasa. Tuduhan sebagai teroris saja tak patut, apalagi dituntut? Jejak keaktivisan kawan Munarman, dalam setiap tarikan nafasnya selalu membela rakyat malah dituduh sebagai pelaku teror. Penguasa tampaknya merasa terteror ketika membela rakyat. Iya gak sih?" tulis Munarman dikutip dari Twitter pribadinya, Kamis.(wartakota)



 

SANCAnews.id Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Munarman dengan hukuman mati dalam perkara dugaan tindak pidana terorisme. JPU beralasan, tuntutan mati ini lantaran Munarman dianggap orang yang paling berpengaruh di dalam organisasi FPI.

 

”Harus orang yang intelektual. Artinya orang yang didakwa dengan dakwaan ini adalah orang yang memiliki pemahaman tinggi tentang ilmu atau mempunyai pengaruh,” kata JPU dalam sidang lanjutan kasus dugaan tindak pidana terorisme yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Rabu (2/2).

 

JPU menjelaskan, tuntutan hukuman mati yang dilayangkan kepada mantan Sekretaris Umum FPI ini diatur di dalam pasal 14 UU 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

 

Dalam pasal tersebut disebutkan, jika seseorang yang memiliki kedudukan tinggi dan berpengaruh dapat diancam hukuman mati.

 

”Yang saya ketahui pertama itu Beliau (Munarman-red) ketua daripada lembaga hukum yang ada di FPI. Yang kedua beliau sekretaris. Jadi artinya terdakwa memiliki kedudukan yang terhormat dan pengaruh yang kuat di FPI,” jelas JPU. (rmol)



 

SANCAnews.id Dalam sebuah negara demokrasi Pancasila, Presiden adalah petugas rakyat, bukan partai. Oleh karena itu, sudah seharusnya seorang presiden wajib mendengar suara rakyat, bukan mendengar suara ketua partai. Hal itu ditegaskan Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, dalam keterangannya, Rabu (2/2).

 

"Namun yang terjadi saat ini bukan seperti itu. Karena Demokrasi Pancasila yang merupakan sebuah sistem tata negara yang paling sesuai dengan DNA asli bangsa Indonesia telah hilang. Telah kita porak-porandakan melalui Amandemen 20 tahun yang lalu," kata LaNyalla.

 

Padahal menurut LaNyalla, sistem demokrasi Pancasila telah dirancang melalui mekanisme yang paling sesuai dengan watak dasar negara bangsa ini. Yaitu adanya Lembaga Kedaulatan Rakyat yang mewakili semua kebhinekaan yang ada.

 

"Sebelum Amandemen 1999 hingga 2002 MPR adalah Lembaga Tertinggi Negara. Di sana semua rakyat atau semua elemen bangsa ada. Di dalam MPR terdapat representasi politik, melalui anggota DPR RI, representasi TNI-Polri melalui Fraksi ABRI, representasi daerah melalui anggota Utusan Daerah dan representasi golongan melalui anggota Utusan Golongan," katanya.

 

Dari situlah, lanjut dia, mereka menyusun arah perjalanan bangsa melalui GBHN, dan kemudian memilih siapa yang pantas sebagai Presiden yang bertugas sebagai mandataris MPR. Arti dari mandataris MPR adalah seorang presiden itu petugas rakyat. Bukan petugas partai.

 

"Tetapi kita sudah secara sengaja mencabut dari DNA asli kita, untuk menjadi bangsa lain. Demi kebanggaan yang semu, yang menyatakan bahwa demokrasi barat adalah yang terbaik," urainya.

 

Setelah Amandemen UUD 20 tahun yang lalu, konstitusi menempatkan Partai Politik menjadi satu-satunya instrumen untuk mengusung calon pemimpin bangsa ini.

 

Sebaliknya DPD RI sebagai wakil dari daerah, wakil dari golongan-golongan dan wakil dari kelompok non-partisan, tidak memiliki ruang yang kuat untuk menentukan wajah dan arah perjalanan bangsa ini.

 

"Semua simpul penentu perjalanan bangsa ini direduksi hanya di tangan Partai Politik. Partai-Partai besar menjadi tirani mayoritas untuk mengendalikan semua keputusan melalui voting di parlemen. Mereka juga bersepakat membuat Undang-Undang yang sama sekali tidak diperintah oleh Konstitusi, yaitu aturan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. Sehingga lengkap sudah dominasi dan hegemoni Partai Politik untuk memasung Vox Populi," tuturnya.

 

Inilah wajah Konstitusi hasil Amandemen 2002 yang telah mengubah lebih dari 90 persen isi pasal-pasal di UUD 1945 naskah asli. Dan telah mengganti sistem tata negara yang dirumuskan para pendiri bangsa yang mengacu kepada Demokrasi asli Indonesia, yaitu Demokrasi Pancasila, menjadi Demokrasi barat dan ekonomi yang kapitalistik.

 

"Karena itu, DPD RI terus menggugah kesadaran publik. Bahwa sistem tata negara Indonesia saat ini, sudah jauh dari cita-cita luhur para pendiri bangsa. Untuk itu, DPD RI terus menggelorakan, bahwa rencana Amandemen Konstitusi perubahan ke-5 harus menjadi momentum untuk melakukan koreksi atas sistem tersebut," katanya.

 

LaNyalla juga mendorong elemen-elemen rakyat melakukan gugatan atas aturan presidential threshold yang nyata-nyata merugikan.

 

"Untuk itu, saya mengajak semua pihak untuk jangan meninggalkan sejarah. Kita juga harus berpikir dalam kerangka pikir seorang negarawan. Bukan politisi. Karena seorang politisi lebih suka berpikir tentang next election. Sedangkan negarawan lebih suka berpikir tentang next generation," tandasnya. (rmol)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.