Latest Post



Jakarta, SN – Letnan Jenderal Suryo Prabowo ikut menanggapi soal hinaan yang dilontarkan oleh akun facebook yang diduga adalah relawan pemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin Ambroncius Nababan kepada mantan Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai.

 

Dalam unggahannya, Ambroncius Nababan yang kerap kali mengunggah konten yang kontroversi, hoaks, dan bernada ejekan kali ini mengunggah foto Natalius Pigai yang disamakan dengan Orang Utan.

 

Suryo Prabowo mengatakan kalau orang seperti Ambroncius Nababan adalah orang yang dapat membuat NKRI terbelah.

 

Komentar tersebut didasarkan pada unggahan Ambroncius Nababan yang bernada hinaan dan rasis.

 

"Pernyataan orang seperti Ambroncius Nababan ini yang bisa membuat NKRI terbelah," cuit Suryo Prabowo, sebagaimana dikutip dari akun Twitter @JSuryoP1 pada Sabtu, 23 Januari 2021.

 

Kicauan Suryo Prabowo sebenarnya menanggapi twit unggahan dari pakar telematika, Roy Suryo.

 

Di akun Twitternya, Roy Suryo mengatakan kalau pernyataan dari Ambroncius Nababan tersebut termasuk ke dalam wilayah rasis (SARA).

 

Dia juga menyebut kalau sikap Ambroncius Nababan sebagai tindakan yang tidak pantas.

 

"Tweeps, sebagai sesama warga NKRI, dari sabang sampai Merauke. Apa yang dilakukan Ambroncius Nababan terhadap @NataliusPigai2 ini sungguh2 sangat Rasis (SARA) dan tidak pantas," kata Roy Suryo.

 

Unggahan dari Suryo Prabowo sendiri mendapat tanggapan dari warganet.

 

Salah satu akun mengatakan bahwa orang seperti Ambroncius Nababan sudah seharusnya ditangkap.

 

Karena merupakan penghancur NKRI yang sesungguhnya. Oknum relawan Jokowi tersebut disebut juga memiliki sikap yang menunjukkan radikalisme dan intoleran.

 

"Harusnya ditangkap orang seperti ini (AN).. inilah penghancur NKRI sesungguhnya.. radikalis sesungguhnya.. intoleran sesungguhnya.. menghina ciptaan Tuhan adalah perbuatan yang tak bisa dimaafkan," cuit akun @ivan_putranto.

 

Sementara akun yang lain mengatakan kalau manusia rasis seharusnya ditangkap, bukan hanya didiamkan.

 

“Manusia rasis harusnya ditangkap bukan didiamkan. Atau mungkin mau ditangkap diam diam lalu di iris tipis tipis,” kata akun @ChavidNew.

 

Dia juga mempertanyakan sikap aparat yang dianggapnya diam saja dan membisu bila berhubungan dengan kekuasaan.

 

“Kenapa aparat selalu diam membisu bila berhubungan dengan pemujaan kekuasaan. Jangan biarkan rakyat mengambil jalan hukumnya sendiri,” kicaunya.

 

Diketahui, akun Ambroncius Nababan kerap mengunggah foto dirinya bersama dengan pejabat, menteri, dan bahkan bersama presiden.

 

Bahkan di satu kesempatan, Ambroncius Nababan berswafoto dengan Jokowi sembari memakai seragam projo relawan Jokowi-Ma'ruf Amin. Selain itu, ia juga berfoto dengan Erick Thohir dan Basuki Tjahja Purnama alias Ahok.***


 



Jakarta, SN – Draf revisi Undang-undang (UU) tentang Pemilu yang masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas DPR tahun 2021 mengatur larangan bagi eks anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menjadi calon peserta pemilihan legislatif (Pileg), pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada).

 

Aturan itu kini ditulis secara gamblang atau tersurat seperti seperti larangan bekas eks Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dilarang berpartisipasi sebagai peserta pemilu. Selama ini, larangan bagi eks HTI tak pernah ditulis secara tersurat dalam UU Pemilu dan UU Pilkada.

 

Merujuk Pasal 182 Ayat (2) huruf jj dalam draf revisi UU Pemilu yang diterima CNNIndonesia.com, diatur persyaratan pencalonan bagi peserta pemilu bukan bekas anggota HTI, "Bukan bekas anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)," bunyi pasal 182 Ayat (2) tersebut.

 

Selain itu, pada Pasal 311, Pasal 349 dan Pasal 357 draf revisi UU Pemilu juga mewajibkan para calon presiden dan calon kepala daerah wajib melampirkan persyaratan administrasi berupa surat keterangan dari pihak kepolisian sebagai bukti tak terlibat organisasi HTI.

 

"Surat keterangan tidak terlibat organisasi terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dari kepolisian," bunyi pasal tersebut.

 

HTI sendiri sudah menjadi ormas terlarang di Indonesia. Status itu sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI.

 

Pencabutan badan hukum HTI merupakan tindak lanjut dari penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas. Dalan draf revisi UU Pemilu juga diatur bahwa pilkada berikutnya akan digelar pada 2022 dan 2023 mendatang.

 

Pilkada 2022 dihelat di daerah yang mana gubernur, bupati dan wali kota sudah menjabat sejak 2015. Salah satu daerah yang akan menggelar pilkada 2022 adalah Provinsi DKI Jakarta.[]




BEKERJA sia-sia bahkan tidak profesional adalah pilihan diksi yang mungkin pas diberikan bagi Komnas HAM yang diberi amanah untuk menyelidiki kasus pembantaian 6 anggota Laskar FPI pada 7 Desember 2020.


Harapan publik begitu besar atas kerja keras, transparan, obyektif, dan independen. Namun harapan itu sirna melalui realita kerja Komnas HAM.

 

Menurut UU 39/1999 tentang HAM, Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi HAM.

 

Pasal 89 ayat (3) butir c dalam hal pemantauan maka Komnas HAM melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang patut diduga terdapat pelanggaran HAM.

 

Ada kesalahan mendasar Komnas HAM dalam penyelidikan kasus penembakan 6 anggota laskar FPI, yaitu:

 

Pertama, dari peristiwa yang secara dini dipantau publik diduga penembakan bahkan pembantaian yang terjadi adalah "extra ordinary" dengan tuntutan keras akan pembentukan TPF independen, maka sesuai UU 26/2000, seharusnya Komnas HAM membentuk tim ad hoc yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat (vide Pasal 89 ayat 2).

 

Kedua, bahwa hasil penyelidikan dengan kesimpulan terjadinya pelanggaran HAM Komnas HAM seharusnya mengumumkan kepada publik siapa yang diduga pelanggar HAM tersebut. Mengetahui penembak atau pembantai adalah hal termudah dan layak didapat oleh Komnas HAM dalam kasus ini.

 

Ketiga, Komnas HAM tidak mampu menjelaskan indikasi penyiksaan (torture) bahkan terkesan menghindar, hal ini merupakan pelanggaran  atas tanggungjawab moral kemanusiaan yang mendasar. Foto kondisi jenazah yang beredar ternyata tidak terklarifikasi baik dalam penyelidikan.

 

Keempat, Komnas HAM keliru hanya melaporkan hasil kerja kepada Presiden, sebab pada pelaporan reguler saja dilakukan kepada DPR dan Presiden dengan tembusan Mahkamah Agung (Pasal 97 UU HAM), apalagi pelaporan khusus. Komnas HAM itu bekerja bukan atas perintah dan bertanggungjawab kepada Presiden.

 

Mengingat kegagalan kerja Komnas HAM dalam kasus penyelidikannya, apalagi mengganggu asas dasar kemandiriannya, maka layak jika Komnas HAM dengan angggota yang kini menjabat patut untuk mendapat sanksi. Pemberhentian adalah konsekuensi. Pimpinan dan tim penyelidik kasus penembakan atau pembantaian bertanggungjawab atas kegagalan.

 

Pemberhentian dari keanggotaan Komnas HAM ini sesuai dengan ketentuan Pasal 85 UU HAM yang membuka pintu pemberhentian atas dasar "mencemarkan martabat dan reputasi dan atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas dalam Komnas HAM".

 

Kesalahan sebagaimana dimaksud Pasal 85 bila dilakukan secara kolektif dan sistematis maka Komnas HAM yang semestinya menjadi pelindung dan pembela HAM justru menjadi bagian dari pengaburan dan pelanggaran HAM itu sendiri.

 

Jika hasil kerja Komnas HAM memang dinilai sudah tidak efektif, mandul, dan tidak berwibawa dalam langkah hukum lanjutannya, maka sebaiknya Komnas HAM dibubarkan saja.

 

M. Rizal Fadillah

(Pemerhati politik dan kebangsaan)


Foto: Gedung Komnas HAM di Jakarta/Net
Diterbikan: oposisicerdas.com, diteruskan @SANCAnews.id


Disclaimer : Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.



OLEH: ARIEF GUNAWAN

WAKTU Indonesia mau merdeka bumiputera terdidik jumlahnya cuma sedikit. Lebih sedikit lagi lulusan universitas. Ketika Sukarno terjun ke lapangan politik, 1927, lulusan HBS (SMA) hanya 78 orang.

 

Orang Belanda pertama-tama bikin sekolah pertanian. Disusul sekolah kedokteran. Sekolah hukum termasuk belakangan. Ilmu-ilmu humaniora lebih dulu mereka kembangkan.

 

Namun konstruksi konstitusi dan ketatanegaraan Republik ini dibangun oleh para ahli hukum bumiputera yang jumlahnya tak banyak itu. Mereka umumnya bukan hanya memiliki bobot intelektualitas dan pemahaman ilmu yang tinggi, tetapi juga bernyali.

 

Bernyali maksudnya berani mengambil keputusan yang memihak rakyat, yang tercermin dari produk konstitusi mereka yaitu UUD 1945, yang kini banyak diselewengkan elit kekuasaan.

 

Sutan Sjahrir yang anak jaksa studi hukum di Leiden. Ali Sastroamidjojo, Mr Soepomo, Iwa Kusumasumantri, dan lainnya. Mereka memandang hukum sebagai Volkgeist (Jiwa Bangsa) yang waktu itu lagi sakit. Karena itu harus disembuhkan.

 

Penyelewengan konstitusi kini justru dipertontonkan.

 

Salah satunya presidential treshold, ambang batas pencalonan presiden 20 persen yang diatur UU 7/2017 tentang Pemilu. Aturan ini seperti jagal. Menutup peluang figur potensial jadi presiden.

 

"Mahkamah Konstitusi sangat berwenang menghapusnya, sebagai satu-satunya lembaga yang ditugaskan mengawal UUD '45, agar betul-betul diterapkan dalam pembentukan undang-undang," kata pakar hukum tatanegara Feri Amsari.

 

Presidential treshold 20 persen nyatanya memang tidak diatur UUD '45.

 

Pasal 6A ayat (2) UUD '45 tidak menyebut pembatasan dalam pencalonan presiden. Justru menegaskan setiap partai politik dapat mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden.

 

"Jadi secara konstitusional keberadaan ambang batas pencalonan presiden 20 persen tidak dibenarkan," tegas Feri Amsari.

 

Tokoh nasional Dr. Rizal Ramli sendiri menggugat peraturan tersebut melalui judicial review. Mahkamah Konstitusi menolak meski presidential treshold bertentangan dengan UUD '45.

 

"Pertimbangan hukum hakim Mahkamah Konstitusi bahwa saya tidak punya legal standing untuk menggugat presidential threshold, kekanak-kanakan," kata Rizal Ramli.

 

Presidential threshold pernah digugat dua belas kali. Sebelas diantaranya diterima dan diproses oleh Mahkamah Konstitusi. Para penggugat adalah individu, termasuk Rizal Ramli, maupun individu yang mewakili organisasi, "Mereka takut banget saya gugat," kata Rizal lagi. 


Faktanya Rizal Ramli punya legal standing dalam melakukan gugatan. Pada 2009 Rizal didukung sembilan partai yang tergabung dalam blok perubahan, antara lain Partai Buruh Sejahtera, Partai Kedaulatan, Partai PNBK dan lain-lain, untuk menjadi calon presiden, "Itu bukti saya sebetulnya bisa mencalonkan diri," tandas Rizal.

 

Pertimbangan hukum hakim Mahkamah Konstitusi tidak masuk logika, sebab menyebut Rizal Ramli tak memiliki legal standing, karena tidak mewakili partai politik sebagai pihak yang berkepentingan dengan pencalonan presiden.

 

"Lho, yang mau kita ubah ini pola dan perilaku partai yang selalu dapat setoran dari calon presiden, karena presidential threshold 20 persen. Mereka tidak suka kalau dihapus," kata Rizal.

 

Sistem ambang batas presiden 20 persen merupakan legalitas dari sistem politik uang dan demokrasi kriminal yang merusak kehidupan bernegara.

 

Mengakibatkan kekuatan uang jadi sangat menentukan dalam pemilihan pemimpin di Indonesia. Kelompok utama yang mendukung sistem ini adalah bandar dan cukong.

 

"Saya yakin kalau berdebat soal ini hakim Mahkamah Konstitusi enggak berani. Mereka tidak percaya diri bisa menang argumen. Kami memang meragukan bobot intelektual hakim Mahkamah Konstitusi," papar Rizal Ramli.

 

Hal lainnya, 48 negara di dunia menggunakan sistem pemilihan dua tahap seperti di Indonesia, tapi tidak memberlakukan presidential threshold.

 

"Hakim-hakim Mahkamah Konstitusi ketinggalan, karena kurang baca. 48 negara sudah meninggalkan sistem presidential treshold," tegas Rizal.

 

(Penulis adalah wartawan senior.)




Jakarta, SN – Kedekatan mantan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk dua periode, M. Jusuf Kalla, dengan Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, membuka peluang Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) menjadi orang penting dalam menentukan pemilihan presiden 2024.

 

"Tetapi bukan untuk JK menjadi Presiden. Faktor usia dan banyaknya figur yang bertarung di Pilpres 2024, hanya membawa JK sebagai "begawan" yang diperlukan restunya," ujar pengamat politik M. Rizal Fadillah, Sabtu (23/1).

 

Jelas Rizal kepada Kantor Berita Politik RMOL, memang Biden bukan satu-satunya faktor menentukan dalam pilpres Indonesia, tapi akan ikut menentukan.

 

"Sebagaimana biasa kepentingan global sangat berpengaruh. Faktor Biden tentu membuat "kubu China" yang dimotori Luhut dan "geng Jokowi" agak ketar-ketir," ujar dia.

 

JK punya kedekatan dengan Joe Biden. Mereka pernah bertemu jelang Pilpres RI 2009, di Gedung Putih, AS. Pertemuan itu tanpa seremonial penyambutan dan layanan keamanan layaknya pertemuan pemimpin negara. Biden dengan JK sudah seperti sahabat.

 

Adapun di era Presiden Joko Widodo, pemerintah Indonesia banyak memuji Donald Trump, Presiden AS sebelumnya. Termasuk, Menko Kemaritiman dan Investigasi Luhut B. Pandjaitan juga pernah bertemua dengan Trump di ruangannya, Gedung Putih.

 

Jokowi dan Luhut yang lebih dekat dengan China diyakini akan membuat AS tidak senang, dan bisa saja tidak dapat restu dari Bidan pada Pilpres 2024.(sanca)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.