Articles by "hukum"

Tampilkan postingan dengan label hukum. Tampilkan semua postingan

Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, di Gedung KPK 
 

JAKARTA — Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Bobby Nasution, bungkam saat ditanya soal laporan masyarakat ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait izin usaha pertambangan di Maluku Utara atau yang dikenal dengan kasus "Blok Medan".

 

Keengganan menantu Presiden ke-7 RI Joko Widodo mengomentari kasus Blok Medan itu ditunjukkan usai menjalani koordinasi dan supervisi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi selama 7 jam di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan, Senin, 28 April 2025.

 

Usai menjawab sejumlah pertanyaan wartawan, mantan Wali Kota Medan itu langsung bergegas menuju mobilnya dengan pengawalan ketat, tanpa menanggapi pertanyaan terkait kasus Blok Medan.

 

Sebelumnya, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) telah membuat laporan resmi kepada Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait Blok Medan pada 9 Agustus 2024.

 

"Kami menuntut KPK untuk menangkap dan mengadili anak presiden, Kahiyang Ayu dan Bobby Nasution yang diduga terlibat kasus suap dan gratifikasi IUP yang dijalankan AGK di Maluku Utara atau 'Blok Medan'," kata Ketua GMNI Jakarta Selatan, Deodatus Sunda Se alias Bung Dendy, saat itu.

 

Bahkan setelah itu, beberapa mantan pejabat dan pegawai KPK hingga pegiat antikorupsi menemui Ketua Sementara KPK, Nawawi Pomolango, pada Rabu, 14 Agustus 2024.

 

Mereka adalah Penasihat KPK periode 2005-2013, Abdullah Hehamahua; mantan pimpinan KPK, Busyro Muqoddas, Saut Situmorang, dan Bambang Widjojanto; serta mantan pegawai KPK Praswad Nugraha, dan lainnya.

 

Mereka membahas beberapa isu di hadapan Nawawi. Salah satunya menyoroti soal Blok Medan yang menyeret nama Bobby Nasution selaku Walikota Medan, dan Kahiyang Ayu yang merupakan istri Bobby.

 

"Dulu KPK menangkap besan Presiden SBY. Jadi kalau besan SBY saja yang presiden ditangkap oleh KPK, apalagi cuma mantu dari presiden. Oleh karena itu, maka Blok Medan itu harus diseriusi oleh pimpinan KPK," kata Abdullah kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Rabu, 14 Agustus 2024. (rmol)


Pemuda Patriot Nusantara melaporkan empat orang ke Polres Jakarta Pusat buntut kegaduhan Ijazah Jokowi/Ist 

 

JAKARTA — Empat orang dilaporkan ke Polres Metro Jakarta Pusat karena diduga membuat keributan terkait ijazah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.

 

Laporan tersebut disampaikan Ketua Umum Pemuda Patriot Nusantara Andi Kurniawan dengan nomor bukti LP/B/978/IV/2025/SPKT/POLRES METRO JAKPUS/POLDA METRO JAYA, Rabu 23 April 2025.

 

"Mereka dilaporkan atas dugaan melanggar Pasal 160 KUHP atas dugaan tindak pidana penghasutan. Klien kami melaporkan 4 orang. Tindakan penghasutan ini telah mengakibatkan kegaduhan," kata kuasa hukum Andi, Rusdiansyah.

 

Adapun empat terlapor berinisial RS, RSN, RF, dan TT. TT menjadi satu-satunya terlapor perempuan. Meski demikian, pelapor tidak menjabarkan secara detail identitas para terlapor.

 

"Inisial ini saya rasa publik sudah familiar. Ada dokter, ada mantan pejabat negara, ada yang mengaku aktivis, ahli," tambahnya tanpa menjabarkan lebih detail.

 

Dalam laporannya, Andi bersama kuasa hukumnya telah melampirkan bukti-bukti dokumen dugaan penghasutan yang diduga dilakukan keempat terlapor.

 

Rusdiansyah berujar, kasus dugaan ijazah palsu Jokowi merupakan isu usang yang sudah selesai sejak lama setelah pihak Universitas Gadjah Mada (UGM) memberi klarifikasi keaslian ijazah presiden dua periode itu.

 

"Maka dari itu kami atas nama kuasa hukum pelapor menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada kepolisian yang hadir di tengah kegaduhan ini," demikian tutup Rusdiansyah. (rmol)


Tiga eks hakim PN Surabaya pemberi vonis bebas Ronald Tannur dituntut hukuman 9 hingga 12 tahun penjara. (Sumber: Poskota/Ramot Sormin) 

 

JAKARTA — Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut hukuman berat bagi tiga hakim yang sebelumnya membebaskan Gregorius Ronald Tannur dalam kasus meninggalnya Dini Sera Afrianti. Ketiganya diduga menerima suap dan gratifikasi yang memengaruhi putusan.

 

Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Selasa, 22 April 2025, Jaksa Penuntut Umum membacakan tuntutan terhadap tiga terdakwa, yakni Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul.

 

Erintuah Damanik dijatuhi hukuman sembilan tahun penjara. Jaksa menyatakan bahwa Erintuah terbukti secara sah menerima uang dari pihak-pihak yang terkait dengan kasus Ronald Tannur.

 

Selain pidana penjara, ia juga diharuskan membayar denda Rp750 juta atau enam bulan kurungan.

 

“Perbuatan terdakwa tidak mendukung upaya pemerintah dalam menciptakan peradilan bersih dan bebas dari praktik KKN,” kata JPU dalam pembacaan tuntutan.

 

Meski demikian, jaksa mempertimbangkan beberapa hal yang meringankan, seperti sikap kooperatif terdakwa dan pengembalian dana sebesar Sin$115.000 yang diterima dari pihak bernama Lisa Rachmat.

 

Terdakwa lainnya, Heru Hanindyo, dituntut paling berat, yaitu 12 tahun penjara serta denda Rp750 juta subsider enam bulan. Sedangkan Mangapul dituntut sembilan tahun penjara dengan denda yang sama.

 

Jaksa menyebut bahwa peran ketiga terdakwa berkontribusi besar dalam mencederai kepercayaan publik terhadap institusi peradilan.

 

Mereka dianggap melanggar ketentuan dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

 

Kasus ini menambah deretan catatan kelam dalam dunia peradilan, sekaligus memperkuat tuntutan masyarakat akan reformasi menyeluruh di tubuh lembaga yudikatif. (poskota)


Foto Ijazah Jokowi/Ist 


JAKARTA — Kasus dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo alias Jokowi dilaporkan ke Bareskrim Polri pada 9 Desember 2024. Wakil Ketua Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) Rizal Fadillah melampirkan bukti tambahan guna melengkapi aduannya.

 

Rizal mengatakan TPUA terakhir kali memberikan bukti tambahan pada Maret lalu berdasarkan temuan Rismon Hasiholan Sianipar dan Roy Suryo. Keduanya merupakan tim ahli forensik digital dan ahli telematika yang membantu TPUA.

 

“Mungkin Senin atau Selasa, kami sudah bisa melangkah ke Bareskrim untuk menambah lagi bukti-bukti baru. Bukti-bukti baru hasil temuan selama kita berada di Universitas Gadjah Mada dan sekaligus ketika ke Solo tanggal 16 April kemarin,” kata Rizal, Sabtu (19/4/2025).

 

Salah satu bukti baru yang akan dilampirkan adalah perbandingan lembar pengesahan. Rizal mengatakan lembar pengesahan skripsi Jokowi tertulis tesis untuk gelar sarjana.

 

Padahal lembar pengesahan lain pada tahun terbit yang sama tertulis sarjana. “Enggak mungkin lah kalau tesis untuk sarjana. Itu misalnya, hari itu kita masukkan nanti ke Bareskrim juga sebagai bukti,” jelas Rizal.

 

Selain bukti baru, pihaknya juga memasukan bukti yang lama sehingga semakin banyak bukti untuk mendorong Bareskrim. Tim kuasa hukum Jokowi, Yakup Hasibuan, belum merespons konfirmasi Tempo soal upaya hukum lebih lanjut terhadap penuding ijazah palsu Jokowi.

 

Sementara itu, tim kuasa hukum Jokowi sedang mengkaji untuk menguggat mereka yang telah menuding ijazah Jokowi palsu. Kendati sudah mengantongi beberapa nama yang potensial, tim kuasa hukum Jokowi masih enggan mengungkap identitas mereka.

 

"Sudah ada beberapa (nama), hanya kami belum berani buka sebelum kami ambil (langkah) ke polisi," kata salah satu kuasa hukum Jokowi, Firmanto Laksana, Selasa (15/4/2025).

 

Firmanto beralasan, saat ini pihaknya masih mengkaji bukti-bukti tudingan yang dilontarkan beberapa orang. Firman juga tak gamblang mengonfirmasi apakah mantan Dosen Universitas Mataram Rismon Hasiholan Sianipar akan turut digugat.

 

Rismon melalui unggahan video di YouTube menyebut ijazah Jokowi palsu setelah menganalisis lembar pengesahan dan sampul skripsi Jokowi. Dia mengklaim nama-nama yang akan kemungkinan digugat itu akan diungkap dalam waktu dekat.  "Bisa pekan ini, bisa pekan depan, karena kami sedang mencermati beberapa hal," jelas Firman.

 

Firman meyakini tuduhan itu merupakan tudingan tidak berdasar karena Universitas Gadjah Mada telah mengonfirmasi bahwa ijazah Jokowi itu asli.

 

Apakah mereka sudah melihat langsung Ijazah Jokowi?

 

Pakar hukum alumni UGM tahun 1982, Lukman mempertanyakan apakah mereka menyatakan bahwa ijazah Jokowi palsu pernah melihat ijazah Jokowi langsung?

 

"Yang mengatakan ijazah jokowi palsu, saya bertanya apakah pernah yang mengatakan ijazah Jokowi palsu melihat ijazahnya Jokowi. Kalau saya belum pernah. Adapun yang dilihat di medsos itu foto kopi ijazah jadi bukan ijazah. Apa yang dilihat di medsos itu adalah foto dari ijazah entah dari mana, saya neggak tahu tapi jadi bukan ijazah. Sampai hari ini saya yakin yang hadir di sini belum pernah melihat ijazahnya Jokowi," kata Lukman, praktisi hukum 30 tahun itu dalam sebuah diskusi yang gelar Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) belum lama ini.

 

Maka pertama, kata dia, bagaimana mungkin dapat mengatakan ijazah itu asli atau palsu itu satu. Kedua, karena persoalan ini tidak bisa diselesaikan secara negosiasi dan yang berangkutan tidak mau menunjukkan kalau memang dia mempunyai ijazah, satu-satu jalan adalah proses hukum di Pengadilan.

 

Namun menurut dia, jika kasus dugaan ijazah palsu Jokwoi digugat ke Pengadilan lagi, maka akan mentok jika penguggat tidak mempunyai bukti yang kuat.

 

"Namun sedikit masukan bagi kawan-kawan, kalau anda-anda mengguggat Jokowi mempunyai ijazah palsu, pendapat saya akan mentok, berapa puluh kalipun akan mentok karena anda-anda akan diminta untuk membuktikan ijazahnya itu ada atau tidak," jelasnya.

 

Kalau ada, baru dilihat palsu atau tidak sehingga Tim TPUA nanti membuat suatu konstruksi hukum yang lain, bukan berkaitan dengan masalah ijazahnya asli atau palsu tapi ada bentuk lain dalam konstruksi hukumnya yang nanti sama-sama disaksikan kalau ini masuk ke ranah hukum di Pengadilan.

 

"Tapi kan itu saran saya ini sudah diterima baik disini ya udah kita terima apa hasilnya dulu di sini nanti bisa didiskusikan. Kemudian kalau mau dirubah konstruksi hukumnya. Silakan dibuat yang pas sesuai dengan hukum yang ada di negara kita ini baik menyangku pidana maupun perdata itu bisa didiskusikan lebih lanjut," demikian Lukman.

 

Alasan Jokowi tak tunjukkan ijazanya

 

Presiden RI ke-7 Joko Widodo atau Jokowi menyatakan alasan tidak menunjukkan ijazahnya kepada perwakilan Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) yang datang menemuinya di kediamannya di Kelurahan Sumber, Kecamatan Banjarsari, Solo, Jawa Tengah, Rabu, 16 April 2025.

 

Ayah Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka itu menegaskan tidak ada kewajiban baginya untuk menunjukkan ijazah miliknya.

 

“Ya Alhamdulillah (perwakilan TPUA) sudah saya terima tadi di dalam rumah. Karena apapun beliau-beliau ini ingin silaturahmi tentu saya terima dengan baik," ujar Jokowi ketika ditemui wartawan di Solo pada 16 April 2025 lalu.

 

Jokowi membenarkan perwakilan TPUA itu memintanya untuk menunjukkan ijazah aslinya. Namun, ia mengatakan tidak ada kewajiban baginya untuk melakukan itu. "Mereka meminta untuk saya bisa menunjukkan ijazah asli. Saya sampaikan bahwa tidak ada kewajiban dari saya untuk menunjukkan itu kepada mereka,” katanya.

 

Ia juga menegaskan tidak ada kewenangan mereka mengatur dirinya untuk menunjukkan ijazah asli yang dimilikinya. “Saya untuk menunjukkan ijazah asli yang saya miliki. Jadi sudah sangat jelas kemarin di UGM (Universitas Gadjah Mada) juga sudah memberikan penjelasan yang gamblang dan jelas,” kata Jokowi.

 

Wakil Ketua TPUA Rizal Fadillah saat ditemui wartawan di lokasi yang sama seusai pertemuan dengan Jokowi mengkonfirmasi hal itu. Ia menyebutkan tujuan kedatangan mereka ke kediaman Jokowi itu selain untuk bersilaturahmi dalam suasana Hari Raya Idul Fitri seperti warga yang lain, juga berhubungan dengan ijazah Jokowi.

 

"Selain silaturahmi, kami juga ingin mendapatkan informasi, klarifikasi, bahkan kalau bisa verifikasi yang berhubungan dengan ijazah Pak Jokowi. Kami sudah menyampaikan, tapi nampaknya beliau tidak berkenan untuk menunjukkan ijazah itu dan mengembalikan kepada proses hukum bahwa kalau diperintahkan oleh pengadilan akan ditunjukkan," kata Rizal.

 

Padahal, menurut Rizal, saat mendatangi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada Selasa, 15 April 2025, UGM juga menyampaikan tidak bisa menunjukkan karena hanya bisa ditunjukkan oleh pemiliknya. Sedangkan ketika mendatangi pemilik, kata dia, pemilik juga tidak menunjukkan ijazah dan mengembalikan kepada proses pengadilan.

 

"Untuk pengadilan kami juga pernah melakukan dan ternyata pengadilan tidak pernah memerintahkan bahkan sebelum sampai pada pokok perkara ternyata pengadilan tidak berwenang. Kalau seperti ini kemana lagi kami harus meminta dasar pembuktian itu," ungkap Rizal.

 

Disinggung mengenai pernyataan kuasa hukum Jokowi yang mengatakan akan menunjukkan ijazah tersebut saat sidang di pengadilan, Rizal mengaku lebih puas jika bisa menanyakannya langsung kepada yang bersangkutan kebenarannya.

 

“Saya kira kita ingin tanya langsung kepada Pak Jokowi benar enggak begitu. Karena di pengadilan sudah berulang-ulang kita melakukan hal itu dan tidak ditunjukkan juga, itu masalahnya. Sehingga diharapkan kalau sekarang syukur-syukur, sudahlah Pak Jokowi tunjukkan saja,” katanya.

 

Ia juga menegaskan belum puas dengan penjelasan yang didapatkannya dari pihak UGM sehari sebelumnya.  “UGM sudah menyampaikan hanya UGM justru katanya kalau soal ijazah bukan urusan UGM karena kewenangan itu pada pribadi masing-masing yang sudah diberikan ijazahnya. UGM hanya soal dokumen-dokumen saja, maka dari itu perlu verifikasi lagi karena selama ini hanya informasi, klarifikasi juga belum ada,” kata Rizal. (monitor)


Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta sebagai tersangka

 

JAKARTA — Muhammad Arif Nuryanta yang merupakan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pernah menjadi Hakim Ketua dalam sidang bebas dua polisi yang menembak mati 6 anggota Front Pembela Islam atau FPI.

 

Kini Arif menyandang status tersangka dalam kasus korupsi suap, untuk membebaskan tiga korporasi yang didakwa dalam kasus ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO), di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

 

Wakil Ketua PN Jakarta Pusat itu dijerat bersama 3 tersangka lainnya yakni pengacara korporasi Marcella Santoso MS), Panitera Muda PN Jakut Wahyu Gunawan (WG) dan Ariyanto (AR).

 

Penetapan status hukum itu disampaikan Abdul Qohar Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Sabtu (12/4/2025) malam, di Gedung Kejagung, Jakarta Selatan.

 

Menurut Qohar, Hakim Muhammad Arif Nuryanta terindikasi menerima suap berupa uang dan barang-barang mewah di antaranya satu unit mobil Ferrari, yang totalnya diperkirakan mencapai Rp60 miliar.

 

Suap itu diberikan AR dan WS pengacara dari pihak korporasi, melalui WG, supaya putusan perkara ekspor CPO lepas dari segala tuntutan hukum atau istilahnya onslag.

 

Dalam sidang putusan, Rabu (19/3/2025), Majelis Hakim PN Tipikor Jakarta menyatakan perbuatan ketiga terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan. Tapi, para hakim menilai perbuatan korporasi itu bukan suatu tindak pidana.

 

“Penyidik menemukan bukti MS dan AR melakukan tindak pidana suap atau gratifikasi diduga sebanyak Rp60 miliar. Pemberian suap atau gratifikasi diberikan melalui WG selaku Panitera. Pemberian dalam pengurusan dimaksud agar majelis hakim mengurusi putusan onslag,” ujar Qohar.

 

Atas perbuatan yang disangkakan, WGterancam jerat Pasal 12 huruf a juncto Pasal 12 huruf b jo. Pasal 5 ayat (2) juncto Pasal 11 juncto Pasal 12 huruf B juncto Pasal 18 Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 

Berikutnya, MS dan AR masing-masing disangkakan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a juncto Pasal 5 ayat (1), juncto Pasal 13, juncto Pasal 18 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 

Sedangkan MAN terancam jerat Pasal 12 huruf c, juncto Pasal 12 huruf B, juncto Pasal 6 ayat (2), juncto Pasal 12 huruf a, juncto Pasal 12 huruf b, juncto Pasal 5 ayat (2), juncto Pasal 11, juncto Pasal 18 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 

Bebaskan 2 Polisi Penembak Mati Laskar FPI

3 tahun yang lalu, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis lepas kepada dua polisi yang menembak mati 6 anggota FPI.

 

Putusan dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Jumat (18/3/2022). Dalam sidang sebelumnya, jaksa menurut terdakwa 6 tahun penjara.

 

Dua polisi yang duduk sebagai terdakwa dalam kasus ini, yaitu Brigadir Polisi Satu Fikri Ramadhan dan Inspektur Polisi Dua Mohammad Yusmin Ohorella.

 

Sejatinya ada tiga tersangka. Tetapi Inspektur Polisi Dua Elwira Priadi meninggal dunia sebelum persidangan. Dalam pertimbangannya, hakim menilai Yusmin Ohorella dan Fikri Ramadhan terbukti menghilangkan nyawa orang lain dalam peristiwa itu.

 

Namun, hal itu dinilai merupakan upaya membela diri. "Mempertahankan serta membela diri atas serangan anggota FPI," ujar hakim.

 

Serangan yang dimaksud yakni mencekik, mengeroyok, menjambak, menonjok, serta merebut senjata Fikri Ramadhan. "Terpaksa melakukan pembelaan diri dengan mengambil sikap lebih baik menembak terlebih dahulu daripada tertembak kemudian," kata hakim.

 

Hakim menilai serangan itu merupakan serangan yang dekat, cepat, dan seketika. Membuat Fikri mengalami luka-luka serta mengancam keselamatan jiwanya. "Apabila tindakan tersebut tidak dilakukan dan senjata milik terdakwa berhasil direbut bukan tidak mungkin tim menjadi korban," kata hakim.

 

Jaksa mempertimbangkan menempuh upaya hukum kasasi usai vonis lepas ini. Dikutip dari SIPP Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tercatat ada tiga orang hakim yang mengadili perkara pembunuhan ini. Duduk sebagai hakim ketua adalah Muhammad Arif Nuryanta. Kemudian sebagai anggota ada hakim Elfian dan Anry Widyo Laksono. (monitor)


Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto resmi ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi 

 

JAKARTA — Politikus PDIP, Ferdinand Hutahean, kembali berkomentar soal kasus hukum yang menjerat Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto. Dikatakan Ferdinand, perkara yang tengah disidangkan ini seharusnya tidak layak untuk dilanjutkan.

 

"Kalau kita memang melihat kemarin dari eksepsi Pak Hasto dan jawaban dari JPU, seharusnya memang perkara ini tidak layak dilanjutkan," ujar Ferdinand kepada fajar.co.id, Selasa (1/4/2025).

 

Ia menyebut bahwa Majelis Hakim akan membacakan putusan sela pada sidang pekan depan untuk menanggapi eksepsi yang diajukan oleh pihak Hasto.

 

"Tinggal minggu depan Majelis Hakim akan membacakan keputusan terkait putusan sela atas eksepsi dari Hasto," tambahnya.

 

Lebih lanjut, Ferdinand menilai bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kesulitan dalam membuktikan tuduhan terhadap Hasto.

 

Hal ini, menurutnya, terlihat dari jawaban Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan.

 

"Memang kalau membaca dari eksepsi dan jawaban JPU KPK, sepertinya KPK kesulitan membuktikan tuduhannya," ujarnya.

 

Ferdinand berharap agar Majelis Hakim menerima eksepsi Hasto dan mengembalikan nama baiknya yang telah tercoreng akibat kasus ini.

 

"Kita berharap Majelis Hakim yang menyidangkan perkara ini menjatuhkan putusan sela nanti, menerima eksepsi Pak Hasto, kemudian meminta nama baiknya dipulihkan," ungkap Ferdinand.

 

Ia juga menuding bahwa KPK tidak serius dalam menegakkan hukum dan cenderung hanya mengejar target politik tertentu.

 

"KPK cenderung terlihat sekali main-main dengan perkara ini. KPK tidak serius dalam hal penegakan hukum, tetapi hanya soal target politik tertentu," katanya.

 

Lebih jauh, Ferdinand menegaskan bahwa Hasto adalah tahanan politik dan proses hukum ini hanya diperalat oleh kekuatan politik tertentu.

 

"Makanya kita selalu menyebut bahwa Pak Hasto itu tahanan politik dan proses hukum ini diperalat kekuatan politik tertentu," kuncinya.

 

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto, melalui tim kuasa hukumnya menegaskan bahwa dirinya tidak terlibat dalam kasus suap yang melibatkan Harun Masiku.

 

Alasannya, perkara tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap atau inkrah. Pernyataan ini disampaikan dalam lanjutan sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Kamis (27/3/2025).

 

Tim kuasa hukum Hasto merujuk pada putusan terhadap mantan anggota KPU Wahyu Setiawan, anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina, serta Saiful Bahri.

 

Mereka yang terlibat dalam perkara ini telah menerima putusan berkekuatan hukum tetap.

 

"Fakta persidangan menunjukkan bahwa tidak ada bukti yang mengaitkan klien kami dengan kasus suap ini," tegas kuasa hukum Hasto di persidangan.

 

Atas dasar itu, pihaknya meminta agar surat dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum dinyatakan batal demi hukum.

 

Menanggapi keberatan tersebut, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa argumen yang diajukan bukan termasuk ruang lingkup eksepsi sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat 1 KUHAP.

 

"Tanggapan penuntut umum, terhadap alasan keberatan atau eksepsi yang dikemukakan penasihat hukum terdakwa tersebut," ujar jaksa KPK dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (27/3/2025).

 

"Penuntut umum berpendapat bahwa selain hal itu bukan merupakan ruang lingkup keberatan atau eksepsi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 156 ayat 1 KUHAP," lanjutnya.

 

Jaksa juga menilai bahwa terdakwa berusaha mengisolasi isu keterlibatan dalam dugaan suap kepada anggota KPU.

 

"Penuntut umum telah menyusun surat dakwaan berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh dalam proses penyidikan, termasuk keterangan saksi, ahli, surat, petunjuk, serta barang bukti yang disita secara sah," jelasnya.

 

Menurut jaksa, persidangan akan menjadi tempat untuk membuktikan apakah ada keterkaitan antara terdakwa dengan dugaan suap, dengan menilai adanya niat jahat dan perbuatan melawan hukum sebagaimana tercantum dalam dakwaan. (fajar)


Pemimpin Redaksi Tempo Setri Yasra (kiri) dan Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) melaporkan kejadian pengiriman kepala babi ke kantor Tempo ke Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, pada Jumat, 21 Maret 2025/Istimewa 

 

JAKARTA — Pemimpin Redaksi Tempo Setri Yasra dan Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) melaporkan kejadian pengiriman paket berisi kepala babi yang dibungkus kardus ke Kepolisian. Setri juga membawa barang bukti berupa rekaman video CCTV kejadian tersebut ke penyidik.

 

Laporan tersebut teregistrasi dengan nomor LP/B/153/III/2025/SPKT/BARESKRIM POLRI tanggal 21 Maret 2025.

 

"Kita sudah punya (rekaman) CCTV, motornya (kelihatan) sudah kita serahkan ke polisi," kata Setri kepada wartawan di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Jumat, 21 Maret 2025.

 

Melalui rekaman video tersebut Setri berharap bisa jadi petunjuk penyidik untuk mengungkap dalang pengirim kepala babi.

 

"Rasanya sudah cukup jadi petunjuk itu. Biarlah nanti itu menjadi alat petunjuk buat menelusuri sampai detail dan menemukan pelaku," ucapnya seperti dilansir RMOL.

 

Sebelumnya, sebuah paket berisi kepala babi dikirim ke kantor redaksi Tempo pada Kamis 19 Maret 2025.

 

Paket tersebut ditujukan kepada Francisca Christy Rosana yang akrab disapa Cica, wartawan desk politik dan host siniar "Bocor Alus Politik". Adapun siaran terakhir siniar ini tentang banjir Jakarta, Bekasi, dan Bogor.

 

Menurut informasi yang diterima redaksi, paket tersebut diterima satuan pengamanan Tempo pada Rabu 19 Maret 2025 pukul 16.15 WIB. Dan Cica baru menerima pada Kamis, 20 Maret 2025, pukul 15.00 WIB.

 

Saat itu Cica baru pulang dari liputan bersama Hussein Abri Yusuf Muda Dongoran. Karena mendapat informasi ada paket kiriman untuknya, ia membawa kotak kardus tersebut ke kantor.

 

Hussein yang membuka kotak itu dan kaget saat mencium bau busuk ketika baru membuka bagian atas kardus tersebut.

 

Ketika styrofoam terbuka, Hussein melihat isinya kepala babi. Hussein dan Cica serta beberapa wartawan membawa langsung kotak kardus ke luar gedung.

 

Setelah kotak kardus sudah dibuka seluruhnya, terlihat kepala babi dengan kedua telinganya terpotong. (*)


Terdakwa kasus dugaan korupsi impor gula Thomas Lembong (tengah) menghadiri sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (6/3/2025) 

 

JAKARTA — Kasus dugaan korupsi impor gula yang menjerat mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong terus bergulir di pengadilan. Meski telah diproses di pengadilan, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menjadi dasar penetapan kerugian negara, belum juga diserahkan jaksa kepada terdakwa maupun pihak terkait lainnya.

 

Padahal, tim kuasa hukum Tom Lembong telah meminta salinan hasil audit BPKP yang menjadi dasar proses hukum dalam perkara ini. Pakar Hukum Keuangan Negara dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Dian Puji Nugraha Simatupang menilai, tidak diserahkannya laporan hasil audit BPKP kepada pihak terkait merupakan langkah yang keliru.

 

Menurut Dian, hasil audit itu sangat krusial karena menjadi dasar untuk menentukan seseorang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum atas kerugian keuangan negara.

 

“Apalagi unsur merugikan keuangan negara kan merupakan unsur penting dalam tindak pidana korupsi (tipikor),” kata Dian, Kamis (13/3).

 

Dian menekankan pentingnya audit BPKP yang harus dihitung dan dinilai terlebih dahulu sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka.

 

“Jika hasil audit belum diserahkan, publik berhak mempertanyakan kualitas dan substansi audit tersebut,” tambahnya.

 

Dia juga mengingatkan transparansi dan objektivitas harus menjadi prinsip utama dalam proses hukum.

 

Dian mendesak majelis hakim memerintahkan agar hasil audit BPKP diserahkan kepada semua pihak yang terlibat untuk memastikan keadilan.

 

“Tidak boleh juga mengadili seseorang tetapi hasil audit tidak diberikan, karena justru agar terdapat objektivitas dan transparansi,” tegas Dian mengingatkan.

 

Pakar hukum pidana Romli Atmasasmita menganggap tidak disampaikannya laporan hasil audit BPKP sebagai bentuk 'Contempt of Court', dan 'Obstruction of Justice'.

 

Romli menekankan audit BPKP adalah salah satu alat bukti utama dalam kasus tipikor yang menjerat Tom Lembong. Menurut Romli, kegagalan untuk menyampaikan hasil audit BPKP dapat menyebabkan proses hukum yang tidak adil dan berpotensi menjadi peradilan sesat. “Jika dipaksa sidang dilanjutkan merupakan peradilan sesat (miscarriage of justice),” ucapnya.

 

Sementara itu, pengacara Tom Lembong, Ari Yusuf Amir menegaskan pihaknya telah mengajukan permintaan agar salinan audit BPKP diserahkan kepada jaksa dan majelis hakim.

 

Menurut Ari, ini merupakan hak terdakwa berdasarkan sejumlah pasal dalam hukum Indonesia, di antaranya Pasal 1 angka 9 KUHAP juncto Pasal 4 Ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 72 KUHAP yang menjamin hak terdakwa dan penasihat hukum untuk mengakses dokumen yang relevan dalam pembelaan.

 

Serta, Pasal 39 Ayat 2 UU BPK juncto putusan MK Nomor 31/2012 yang menyatakan hasil audit perhitungan keuangan negara harus dibuka kepada terdakwa agar dapat diuji dalam persidangan dan diakses oleh terdakwa atau penasihat hukumnya.

 

“Ini adalah hak terdakwa yang kami permasalahkan sejak awal sidang. Kami membutuhkan salinan audit BPKP untuk menguji apakah benar ada kerugian negara dan bagaimana perhitungannya,” tegas Ari usai sidang putusan sela, Kamis (13/3).

 

Dia juga mengungkapkan hasil audit BPKP baru muncul setelah Tom Lembong ditahan, meski penahanan tersebut terjadi pada Oktober, sedangkan klarifikasi BPKP baru dilakukan pada Januari. Permintaan ini, menurut Ari, juga berkaitan dengan keadilan yang harus dijunjung dalam sidang yang menarik perhatian publik ini.

 

"Jika dalam proses ini ada yang keliru, baik dari jaksa maupun hakim, maka akan dinilai oleh seluruh rakyat Indonesia dan berpengaruh pada penegakan hukum," ujarnya. (fajar)


Konferensi pers penetapan tersangka Kapolres Ngada/Ist 

 

JAKARTA — Kapolres Ngada nonaktif, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmadja resmi ditetapkan sebagai tersangka pada Kamis, 13 Maret 2025. AKBP Fajar merupakan tersangka kasus narkoba dan pencabulan anak di bawah umur.

 

“Hari ini statusnya sudah menjadi tersangka dan sudah ditahan di Bareskrim Polri,” kata Karowabprof Divpropam Polri, Brigjen Agus Wijayanto saat jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta, Kamis, 13 Maret 2025.

 

AKBP Fajar turut dijerat dengan pelanggaran etik berlapis dengan ancaman paling berat pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).

 

“Ini menyangkut anak sehingga kita harus betul-betul mendasari ketentuan yang berlaku, yang awalnya kita tes urine hasilnya positif (narkoba), setelah gelar perkara ini kategori berat dengan pasal berlapis ancaman pemberhentian tidak dengan hormat,” lanjut Agus.

 

Adapun sidang etik untuk AKBP Fajar yang telah dimutasi ke sebagai Pamen Yanma Polri digelar Majelis Komisi Kode Etik Polri (KKEP) Senin, 17 Maret 2025. (rmol)


Mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil 

 

JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah rumah mantan Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil di Bandung pada Senin, 10 Maret 2025. Penggeledahan itu terkait pengusutan kasus dugaan korupsi dana iklan di Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (BJB).

 

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Fitroh Rohcahyanto membenarkan adanya penggeledahan di rumah Ridwan Kamil di Bandung, Jawa Barat.

 

"Iya benar (KPK geledah rumah Ridwan Kamil di Bandung)," kata Fitroh seperti dikutip dari RMOL.

 

Fitroh membenarkan, penggeledahan ini terkait dengan perkara di BJB. Di mana, KPK sudah menetapkan 5 orang tersangka. Namun, KPK belum mengumumkan identitas para pihak tersebut.

 

Sebelumnya, Ketua KPK, Setyo Budiyanto mengatakan, pihaknya sudah menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) terkait dugaan korupsi di BJB.

 

Berdasarkan informasi yang diperoleh, nilai penempatan dana iklan oleh BJB sekira Rp100 miliar. Diduga dalam proses penempatan dana iklan oleh BJB telah terjadi markup atau penggelembungan sehingga menyebabkan kerugian keuangan Negara. (*)


Umar Syadat Hasibuan atau Gus Umar 


JAKARTA — Kritik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) makin tajam menyusul mencuatnya kasus dugaan suap yang melibatkan mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.

 

Kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sekaligus pegiat media sosial, Umar Hasibuan, secara terbuka menantang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut serius kasus tersebut.

 

Gus Umar, begitu ia disapa, menuding Komisi Pemberantasan Korupsi hanya berani menindak kasus yang menyeret Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, tetapi cenderung bungkam dalam kasus yang diduga menyeret Yaqut.

 

"Ahhh KPK beraninya cuma dengan Hasto doank, kalau sama Yaqut langsung melempem," kata Gus Umar di X @UmarHasibuan__ (10/3/2025).

 

Pernyataan ini memicu respons dari warganet dan sejumlah pengamat politik, yang mempertanyakan independensi KPK dalam menangani kasus-kasus besar.

 

Sejumlah pihak mendesak lembaga antirasuah itu untuk tidak tebang pilih dalam mengusut dugaan korupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara.

 

Sebelumnya, penetapan kuota haji 2025 kembali membuka perbincangan mengenai dugaan penyimpangan dalam pengelolaan kuota haji di era mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas.

 

Ia dituding terlibat dalam pengalihan dan jual beli kuota haji yang dianggap melanggar ketentuan hukum.

 

Kasus ini bermula dari hasil investigasi Panitia Khusus (Pansus) Angket Haji DPR yang dibentuk setelah Tim Pengawas (Timwas) Haji menemukan berbagai permasalahan dalam pelaksanaan haji 2024.

 

Pansus tersebut resmi dibentuk melalui rapat paripurna DPR pada 4 Juli 2024 untuk mengevaluasi penyelenggaraan haji tahun 1445 Hijriah.

 

Akibat dugaan penyalahgunaan wewenang ini, Yaqut dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh lima kelompok masyarakat serta Aliansi Mahasiswa dan Pemuda untuk Keadilan Rakyat (Amalan Rakyat).

 

Koordinator Amalan Rakyat, Raffi Maulana, menilai Yaqut bertindak sepihak dengan mengalihkan 50 persen kuota haji reguler ke haji khusus.

 

Keputusan ini dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, yang mengatur bahwa kuota haji khusus hanya boleh sebesar 8 persen dari total kuota haji Indonesia.

 

Namun, dalam praktiknya, Kementerian Agama menetapkan kuota haji khusus sebesar 27.680 atau 11 persen dari total 241 ribu kuota haji Indonesia.

 

Menanggapi hal tersebut, Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, menyatakan bahwa pihaknya siap menyelidiki dugaan gratifikasi dalam pengelolaan kuota haji khusus pada 2024.

 

"KPK juga terbuka dan jika Pansus Haji ingin bekerja sama mengusut dugaan dimaksud," ujar Tessa.

 

Ia juga menegaskan bahwa keterlibatan KPK bertujuan untuk memastikan transparansi serta keadilan dalam penyelenggaraan ibadah haji.

 

Hanya saja, hingga saat ini, KPK belum menerima permintaan resmi dari Pansus Haji DPR untuk mendukung investigasi kasus ini. (fajar)


Sidang perdana Tom Lembong dalam kasus dugaan korupsi impor gula di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Kamis (6/3/2025) 

 

JAKARTA — Tom Lembong menjalani sidang perdana dalam kasus dugaan korupsi impor gula di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Kamis (6/3/2025). Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengaku heran dengan kasus dugaan korupsi impor gula yang menjerat mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong.

 

Menurutnya, banyak kejanggalan pada kasus-kasus yang terjadi di lingkungan Kementerian Perdagangan pada periode 2015-2016, “Yang jelas, kasus Tom Lembong ini aneh bin ajaib,” ujar Refly dalam kanal YouTube-nya Refly Harun, Sabtu (8/3/2025).

 

Refly menilai, kasus ini bukan sekadar menyeret nama Tom Lembong, tetapi bisa berujung pada tokoh-tokoh lain, seperti Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto hingga mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.

 

“Kita tahu tujuannya adalah, Tom Lembong kena akan menyerempet ke Hasto, menyerempet juga ke Anies,” ucapnya.

 

Selain itu, Refly menduga ada misi tersembunyi dalam proses hukum yang dilakukan Kejaksaan Agung. Ia mempertanyakan alasan di balik penangkapan Tom Lembong yang menurutnya dilakukan secara tiba-tiba dan tanpa bukti yang jelas.

 

“Jadi seperti ada satu misi di Kejaksaan Agung yang kita tidak tahu siapa yang menggerakkannya, tiba-tiba Tom Lembong yang kena,” imbuhnya.

 

Sebagai bentuk dukungan terhadap keadilan, Refly menegaskan bahwa dirinya akan berpihak kepada siapa pun yang diperlakukan tidak adil, termasuk dalam kasus ini.

 

“Saya bukan orang yang fanatik, jadi saya mendukung siapa pun yang mendapat perlakuan tidak adil. Jadi soal Tom Lembong ini harus jelas korupsinya apa,” tegasnya.

 

Hingga saat ini, Refly menilai Kejaksaan Agung belum bisa membuktikan kejahatan yang dituduhkan kepada Tom Lembong.

 

“Sampai sekarang Kejagung tidak bisa membuktikan kejahatan Tom Lembong itu apa. Saya tidak melihat sampai saat ini apa kesalahan Tom Lembong,” tandasnya.

 

Beberapa waktu lalu, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Sari Yuliati, menilai tidak ada pelanggaran atau unsur perbuatan yang melawan hukum dalam kasus yang menjerat mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong, sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi impor gula.

 

Hal ini diungkapkan Sari Yuliati dalam Rapat Kerja dengan Jaksa Agung RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (13/11/2024) kemarin.

 

Sari Yuliati bahkan memberikan penjelasan panjang lebar terkait proses penerbitan izin impor gula yang diterbitkan pada 2015 dan 2016.

 

"Tadi disebutkan pak Hinca, kasus ini menimbulkan spekulasi masyarakat, kasus ini sarat dengan kepentingan politik," ujar Sari Yuliati di hadapan Jaksa Agung, ST Burhanuddin. 

 

Menurutnya, izin tersebut dikeluarkan berdasarkan peraturan yang berlaku pada waktu itu. Sari menegaskan bahwa tidak ada pelanggaran hukum yang dapat dibuktikan dalam penerbitan izin impor gula oleh Tom Lembong.

 

"Jika dilihat dari waktu penerbitan izin oleh Tom Lembong yaitu 2015 dan 2016, maka tentu ada dua peraturan yang berlaku," lanjutnya.

 

Pertama, kata Sari Yuliati, untuk izin impor gula diterbitkan pada 2015, yang berlaku adalah Kepmen Perindag nomor 527/2004 Pasal 2 ayat 2.

 

"Diatur bahwa gula kristal mentah dapat diimpor oleh perusahaan yang telah mendapat pengakuan sebagai importir produsen gula," tukasnya.

 

Lanjut Sari Yuliati, pada Pasal 4 ayat 1, untuk izin impor yang menerbitkan adalah Dirjen Perdagangan Luar Negeri Departemen Perindustrian dan Perdagangan.

 

Adapun Pasal 2 ayat 4, menyebutkan gula kristal mentah yang diimpor tersebut setelah diolah hasilnya dapat dijual atau didistribusikan kepada industri.

 

"Kalau memang berhenti di sini, bisa dibilang Tom Lembong melanggar peraturan. Tetapi di Pasal 23 menyatakan bahwa pengecualian terhadap ketentuan dalam keputusan ini hanya dapat ditetapkan oleh Menteri," sebutnya.

 

Sari Yuliati juga memberikan gambaran mengenai alasan pemerintah menerbitkan izin impor gula. Dikatakannya, harga gula yang tinggi membebani masyarakat, khususnya yang kurang mampu.

 

"Saya memberikan ilustrasi, dikarenakan harga gula cukup tinggi dan membebani masyarakat, khususnya yang kurang mampu," ucapnya.

 

Sebagai tindak lanjut dari MoU antara KASAD dan Menteri Perdagangan pada 2013, kata Sari Yuliati, induk koperasi Angkatan Darat (Inkopkar) meminta izin kepada Menteri Perdagangan untuk melaksanakan operasi pasar dengan tujuan menstabilkan harga gula.

 

"Kemudian disetujui dalam pelaksanaannya Inkopkar dapat bekerjasama dengan produsen dalam negeri atau beberapa perusahaan dalam negeri," Sari Yuliati menuturkan.

 

Tambahnya, beberapa perusahaan tersebut kemudian mengajukan permohonan kepada Menteri Perdagangan agar diberikan izin mengimpor gula kristal mentah yang diolah menjadi gula kristal putih.

 

"Lalu didistribusikan kepada masyarakat di bawah harga pasar. Karena tujuannya memang untuk menstabilkan harga," imbuhnya.

 

Dengan alasan tersebut, Sari Yuliati berpendapat bahwa penerbitan izin impor oleh Menteri Perdagangan saat itu sah dan sesuai dengan peraturan yang ada.

 

"Jadi di sini bisa juga kita lihat bahwa perusahaan-perusahaan tersebut tidak sekadar mencari untung tapi ada juga rasa nasionalisme mereka untuk membuat stabilitas nasional," cetusnya.

 

"Izin impor yang biasanya diterbitkan Dirjen dalam hal ini diterbitkan oleh Menteri sebagai wujud pelaksanaan pasal 23 tadi," sambung dia.

 

Sari Yuliati bilang, perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pengimporan gula tidak melanggar ketentuan yang ada, meskipun penerbitan izin impor tersebut melibatkan pihak yang memiliki hubungan dengan sektor militer.

 

"Di sini menimbulkan pertanyaan buat saya, penerbitan izin impor tersebut melanggar ketentuan atau peraturan yang berlaku atau tidak? Kalau melanggar, di mana letak pelanggarannya? Menurut Pasal 23 membolehkan pak Menteri melakukan hal itu," tegasnya. (fajar)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.