Prajurit TNI di Gedung DPR/MPRI RI.
JAKARTA — Pengamat Kebijakan Publik Gigin
Praginanto menyoroti makin dominannya peran militer dan polisi dalam
pemerintahan. Gigin mengatakan, jika militer dan polisi menguasai semua kursi
strategis dalam pemerintahan, Indonesia tinggal selangkah lagi menuju presiden
seumur hidup.
"Tinggal selangkah lagi menuju presiden seumur hidup.
Campur aduk pekerjaan militer dan sipil membuat wajah Indonesia makin suram dan
ruwet," ujar Gigin di X @giginpraginanto (22/3/2025).
Gigin menambahkan bahwa supremasi militer semakin mencolok
dalam proses revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Gigin juga mengkritik ocehan tentang efisiensi anggaran
sambil memboroskan keuangan negara.
"Negara-negara tetangga ngakak melihat hal ini,"
katanya.
Lanjut Gigin, Prabowo Subianto, yang saat ini menjabat
sebagai Presiden, memilih untuk mempercepat militerisasi dan polisinisasi pemerintahan
secara bersamaan.
"Sipil cukup menjadi pemain pembantu atau pelengkap
penderita," tukasnya.
Dampak dari kebijakan ini, menurut Gigin, adalah kaburnya
investor ke negara tetangga.
"Investor pun memilih kabur ke negara tetangga. Kasihan
Indonesia," tambahnya.
Gigin menegaskan bahwa dominasi militer dan polisi dalam
pemerintahan tidak hanya merugikan dari segi ekonomi, tetapi juga mengancam
demokrasi dan prinsip-prinsip good governance.
Sebelumnya, setelah melalui sejumlah polemik dalam perjalanan
pembahasannya, DPR RI akhirnya resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia (RUU TNI) menjadi undang-undang.
Keputusan ini diambil dalam Rapat Paripurna DPR RI di Gedung
Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (20/3/2025). Rapat dipimpin oleh Ketua DPR RI Puan Maharani didampingi
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Saan Mustopa, dan Adies Kadir.
Sejumlah menteri Kabinet Merah Putih juga tampak menghadiri
rapat paripurna. Diantaranya, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, Panglima
TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi serta
Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono.
Pengambilan keputusan itu merupakan tahapan pembicaraan
tingkat II dalam proses legislasi, setelah RUU tersebut disetujui dalam
pembicaraan tingkat I oleh Komisi I DPR RI yang membidangi urusan keamanan,
pertahanan, dan informasi digital.
Ketua Panja RUU TNI, Utut Adianto pun menyampaikan laporan
pembahasan RUU TNI. Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, menegaskan bahwa revisi
UU TNI mencerminkan komitmen kuat terhadap profesionalisme TNI sebagai alat
pertahanan negara yang tidak berpolitik dan tidak berbisnis.
Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya perubahan pada Pasal 2
butir d yang menegaskan jati diri TNI sebagai tentara profesional. Selain itu, Pasal 39 tetap melarang prajurit aktif untuk
berpolitik praktis, menjadi anggota partai politik, berbisnis, serta mengikuti
pemilu.
"DPR dan pemerintah juga sepakat mempertahankan Pasal 47
ayat 1 yang mewajibkan prajurit aktif TNI yang menduduki jabatan sipil untuk
mengundurkan diri atau pensiun. Artinya, aturan ini tetap konsisten melarang
dwifungsi TNI," ujar Hasanuddin.
Menurutnya, kekhawatiran publik mengenai ekspansi militer
dalam jabatan sipil juga tidak beralasan. Justru, revisi UU TNI memperketat
aturan dengan melakukan limitasi terhadap instansi yang dapat diisi prajurit
aktif.
"Penambahan lima institusi dalam Pasal 42 ayat 2
bukanlah bentuk ekspansi, melainkan pembatasan terhadap pos-pos yang dapat
diisi prajurit aktif," imbuhnya.
"Lima institusi tersebut, yakni pengelola perbatasan,
penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut, dan Kejaksaan
Agung, memang memiliki keterkaitan dengan sektor pertahanan dan kemampuan
teknis kemiliteran," kuncinya. (fajar)