Latest Post

SIDAK SPBU-Video lama Wakil Ketua DPR RI Komisi VI Andre Rosiade sidak dengan eks Direktur PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan kembali viral.  


JAKARTA — Video lama Wakil Ketua DPR RI Komisi VI Andre Rosiade sidak dengan eks Direktur PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan kembali viral.

 

Riva Siahaan kini ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan kasus oplos Pertamax dengan Pertalite.

 

Riva Siahaan diduga telah merugikan negara hingga Rp194 triliun.

 

Video lama Andre Rosiade sidak dengan Riva Siahaan pun kembali viral di tengah gonjang-ganjing Pansus Pertamina.

 

Dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Pertamina, Andre Rosiade pun disorot lantaran getol menyerang mantan Komisaris Utama PT Pertamina Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

 

Andre Rosiade menyebut Ahok sebagai pahlawan kesiangan lantaran koar-koar di tengah kasus korupsi PT Pertamina Patra Niaga.

 

Padahal kata Andre Rosiade selama menjadi Komut, Ahok terbukti gagal membongkar kasus mafia Migas tersebut dan baru terbongkar pada Februari 2025 ini.

 

Di tengah serangan Andre Rosiade, video politisi Partai Gerindra itu sidak SPBU Pertamina bersama Riva Siahaan kembali viral di media sosial. 

 

Salah satu yang membagikan yakni @BiLLRaY2019.

 

Terlihat Andre Rosiade sidak SPBU berkeliling bersama dengan Riva Siahaan.

 

Video tersebut ternyata diambil saat DPR dan Pertamina sidak ke sejumlah SPBU di Kota Padang, Rabu (22/11/2023) siang.

 

Andre Rosiade didampingi langsung Dirut PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan dan sejumlah rombongan.

 

Saat itu keduanya hadir demi memastikan ketersediaan BBM subsidi khususnya solar di SPBU. 

 

Sebabnya beberapa waktu sebelumnya terjadi antrian sangat panjang hampir di semua SPBU di provinsi ini akibat ketiadaan solar. 

 

Maka dari itu DPR RI pun melakukan sidak di sejumlah SPBU. (wartakota)


Jokowi dan Ahli Forensik Digital Rismon Hasiholan Sianipar 

 

JAKARTA — Alumni Fakultas Teknologi Universitas Gajah Mada (UGM) yang kini dikenal sebagai ahli forensik digital, Rismon Hasiholan Sianipar, meyakini gelar Sarjana Kehutanan Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo alias Jokowi, yang dikeluarkan UGM pada 1985 adalah palsu.

 

"100 miliar persen palsu," katanya seperti dikutip dari video berjudul "Ijazah Palsu Joko Widodo Berdasarkan Analiaa Jenis Font dan Operating System", Selasa (11/3/2025).

 

Video ini tayang di akun YouTube Balige Academy.

 

Rismon meyakini bahwa ijazah Jokowi palsu berdasarkan dua aspek, yakni font pada ijazah itu dan nomor seri pada ijazah yang hanya berupa foto copy itu, yang menurut dia janggal.

 

Menurut Rismon, fontface atau jenis font yang digunakan pada ijazah Jokowi, yang pada video itu ditampilkan hanya dalam bentuk fotocopy sebagaimana yang beredar selama ini, dan terdapat watermark "Republika" pada copy ijazah itu yang menandakan bahwa copy ijazah Jokowi itu merupakan sampel yang dipublikasikan republika.co.id, menggunakan jenis huruf Times New Romans.

 

Menurut dia, jenis huruf itu tidak mungkin sudah ada pada tanggal 5 November 1985 saat ijazah itu diterbitkan UGM.

 

"Karena Window OS versi 1.01 dirilis 20 November 1985 atau 15 hari setelah ijazah Jokowi itu diterbitkan UGM. Sedang Windows versi 3.1 (di mana font Times New Romans difungsikan) dirilis pada tanggal 6 April 1992. Konfirm ijazah ini palsu," katanya.

 

Rismon juga membandingkan copy ijazah Jokowi dengan ijazah seorang alumni UGM yang lain yang bernama Bambang Nurcahyo Prastowo, di mana sementara ijazah Jokowi menggunakan jenis font Times New Romans, sementara ijazah Bambang, menurut Rismon, merupakan font standar dari komputer yang masih menggunakan DOS (Disk Operating System).

 

"Kalau font pada ijazah Jokowi ini karena menggunakan jenis font Times New Romans, ini menggunakan Windows," katanya.

 

Ia pun meminta agar Jokowi mengakui kalau ijazahnya memang palsu.

 

"Ngaku sajalah Pak Joko Widodo. Anda mungkin saja benar kuliah di kehutanan (UGM). Bisa saja kan? Karena kita tidak bisa menutup kemungkinan, tapi mungkin ijazah Anda hilang, kebanjiran atau apa, tapi bukan ini ijazah aslinya, ini pasti palsu. 100 miliar persen palsu," katanya.

 

Rismon juga menyoroti skripsi Jokowi yang menurut dia janggal. Skripsi itu berjudul "Studi Tentang Pola Konsumsi Kayu Lapis pada Pemakaian Akhir di Kotamadya Surakarta".

 

Sebab, kata dia, huruf-huruf yang digunakan untuk judul skripsi itu pun menggunakan jenis font Times New Romans.

 

"Ini pasti gak bemar, palsu, pasti diproduksi seteleh Times New Romans difungsikan tahun 1992 di Windows. UGM jujur saja; ada apa sih sebenarnya? Kebenaran itu pahit, tapi bisa jadi pembelajaran," katanya.

 

Soal nomor seri pada ijazah Jokowi, Rismo mengatakan, nomor seri di ijazah ganjil karena tak ada klaster. Ia menunjukkan, pada ijazah Jokowi hanya ada angka 1120.

 

"Ini nggak ada klasternya, sehingga nggak jelas ini dari fakultas apa dan lulusan (angkatan) keberapa," katanya.

 

Ia menunjukkan ijazah alumni UGM yang dijadikan sampel yang bertuliskan No 766/2869PA/1985. Huruf "PA" pada nomor seri ijazah ini katanya, mungkin dari fakultas Pengetahuan Alam.

 

Sementara ijazahnya sendiri memiliki nomor seri 28530/HYN-WBS/98/TE-ST/67-1159 .

 

"TE pada nomor seri itu menunjukkan kalau saya lulusan Teknik Elektro," jelasnya.

 

Seperti diketahui, copy ijazah Jokowi itu selama ini memang dicurigai palsu, sehingga pernah dua kali digugat ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, akan tetapi gugatan pertama dicabut karena sang penggugat, yakni Bambang Tri, ditangkap dan dipenjara 6 tahun oleh PN Solo karena dinilai terbukti menyebarkan kabar bohong tentang ijazah Jokowi

 

Gugatan kedua kandas, karena PN Jakpus pada putusan sela menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan ini.

 

Gugatan dengan kuasa hukum dari Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) itu didasarkan pada data yang dimiliki Bambang Tri bahwa ijazah Jokowi palsu, dan juga berdasarkan foto wajah pada ijazah itu yang secara fisik berbeda dengan wajah Jokowi.

 

Terkait dengan kandasnya gugatan di PN.Jakpus, Rismon memgatakan kalau kemungkinan hakim tidak terlalu paham soal manipulasi digital, dan hakim pun punya kecenderungan percaya kepada polisi yang menangani perkara pada tingkat penyelidikan dan penyidikan, sebelum perkara dilimpahkan ke Kejaksaan dan kemudian ke pengadilan.

 

"Hakim tak paham, standar berpikir hakim ya gitu, hanya percaya kepada polisi. Ya, itulah hancur negara ini. Para hakim rendah dalam pemahaman digital, apalagi digital manipulation," katanya. (harianumum)


Mantan Kabareskrim Polri, Komjen Pol (Purn) Susno Duadji 

 

JAKARTA — Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia, Komisaris Jenderal (Purn.) Susno Duadji, menyoroti kenaikan pangkat Letkol Teddy Indra Wijaya yang belakangan menjadi sorotan publik. Susno mengkritik adanya dugaan pelanggaran aturan dalam proses kenaikan pangkat tersebut.

 

"Oh jadi hukum itu bisa saja dilanggar atau dikesampingkan," kata Susno di X @susno2g (13/3/2025).

 

Susno khawatir terhadap adanya pelonggaran aturan hukum dalam sistem kepangkatan dan jabatan di lingkungan militer maupun pemerintahan.

 

Sebelumnya, Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Maruli Simanjuntak menanggapi polemik terkait Letkol Inf Teddy Indra Wijaya, yang ditunjuk sebagai Sekretaris Kabinet (Seskab).

 

Maruli menegaskan bahwa keputusan tersebut merupakan kewenangan Panglima TNI dan dirinya sebagai KSAD.

 

"Ngomongin tentang Letkol Teddy, itu kan kewenangan Panglima, kewenangan saya," ujar Maruli.

 

Dikatakan Maruli, jika Presiden telah mempertimbangkan seseorang mampu membantu dan mengoordinasikan tugas tertentu, maka pemberian pangkat lebih tinggi bukanlah suatu masalah.

 

"Ada orang yang sudah dianggap oleh Presiden bisa membantu, mengkoordinasikan, kita kasih pangkat lebih tinggi. Apa masalahnya?" katanya.

 

Maruli juga menyinggung soal pengalaman penugasan di Papua yang sering dijadikan argumen dalam polemik ini.

 

Ia mengungkapkan bahwa hanya sebagian kecil prajurit yang benar-benar terlibat dalam pertempuran di Papua.

 

"Penugasan Papua yang bertempur betul itu mungkin gak nyampe 5 persen. Yang lain di Papua pinggiran, saya tahu persis," jelasnya.

 

Lebih lanjut, ia menantang pihak-pihak yang mempertanyakan kenaikan pangkat Letkol Teddy dengan alasan senioritas atau pengalaman tempur.

 

"Jadi yang ribut-ribut kalau misalnya betul ada tentara yang komplain kenapa ini duluan, dia yang bertempur gak ada yang naik, saya pengen tahu orangnya siapa. Betul gak dia pernah bertempur, cek betul, pernah perang gak dia?" katanya.

 

Maruli bahkan menyindir bahwa mereka yang paling vokal dalam protes sering kali bukan orang-orang yang memiliki pengalaman tempur nyata.

 

"Biasanya yang gak pernah perang itu bacotnya terlalu banyak," tudingnya. (fajar)


Terdakwa kasus dugaan korupsi impor gula Thomas Lembong (tengah) menghadiri sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (6/3/2025) 

 

JAKARTA — Kasus dugaan korupsi impor gula yang menjerat mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong terus bergulir di pengadilan. Meski telah diproses di pengadilan, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menjadi dasar penetapan kerugian negara, belum juga diserahkan jaksa kepada terdakwa maupun pihak terkait lainnya.

 

Padahal, tim kuasa hukum Tom Lembong telah meminta salinan hasil audit BPKP yang menjadi dasar proses hukum dalam perkara ini. Pakar Hukum Keuangan Negara dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Dian Puji Nugraha Simatupang menilai, tidak diserahkannya laporan hasil audit BPKP kepada pihak terkait merupakan langkah yang keliru.

 

Menurut Dian, hasil audit itu sangat krusial karena menjadi dasar untuk menentukan seseorang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum atas kerugian keuangan negara.

 

“Apalagi unsur merugikan keuangan negara kan merupakan unsur penting dalam tindak pidana korupsi (tipikor),” kata Dian, Kamis (13/3).

 

Dian menekankan pentingnya audit BPKP yang harus dihitung dan dinilai terlebih dahulu sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka.

 

“Jika hasil audit belum diserahkan, publik berhak mempertanyakan kualitas dan substansi audit tersebut,” tambahnya.

 

Dia juga mengingatkan transparansi dan objektivitas harus menjadi prinsip utama dalam proses hukum.

 

Dian mendesak majelis hakim memerintahkan agar hasil audit BPKP diserahkan kepada semua pihak yang terlibat untuk memastikan keadilan.

 

“Tidak boleh juga mengadili seseorang tetapi hasil audit tidak diberikan, karena justru agar terdapat objektivitas dan transparansi,” tegas Dian mengingatkan.

 

Pakar hukum pidana Romli Atmasasmita menganggap tidak disampaikannya laporan hasil audit BPKP sebagai bentuk 'Contempt of Court', dan 'Obstruction of Justice'.

 

Romli menekankan audit BPKP adalah salah satu alat bukti utama dalam kasus tipikor yang menjerat Tom Lembong. Menurut Romli, kegagalan untuk menyampaikan hasil audit BPKP dapat menyebabkan proses hukum yang tidak adil dan berpotensi menjadi peradilan sesat. “Jika dipaksa sidang dilanjutkan merupakan peradilan sesat (miscarriage of justice),” ucapnya.

 

Sementara itu, pengacara Tom Lembong, Ari Yusuf Amir menegaskan pihaknya telah mengajukan permintaan agar salinan audit BPKP diserahkan kepada jaksa dan majelis hakim.

 

Menurut Ari, ini merupakan hak terdakwa berdasarkan sejumlah pasal dalam hukum Indonesia, di antaranya Pasal 1 angka 9 KUHAP juncto Pasal 4 Ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 72 KUHAP yang menjamin hak terdakwa dan penasihat hukum untuk mengakses dokumen yang relevan dalam pembelaan.

 

Serta, Pasal 39 Ayat 2 UU BPK juncto putusan MK Nomor 31/2012 yang menyatakan hasil audit perhitungan keuangan negara harus dibuka kepada terdakwa agar dapat diuji dalam persidangan dan diakses oleh terdakwa atau penasihat hukumnya.

 

“Ini adalah hak terdakwa yang kami permasalahkan sejak awal sidang. Kami membutuhkan salinan audit BPKP untuk menguji apakah benar ada kerugian negara dan bagaimana perhitungannya,” tegas Ari usai sidang putusan sela, Kamis (13/3).

 

Dia juga mengungkapkan hasil audit BPKP baru muncul setelah Tom Lembong ditahan, meski penahanan tersebut terjadi pada Oktober, sedangkan klarifikasi BPKP baru dilakukan pada Januari. Permintaan ini, menurut Ari, juga berkaitan dengan keadilan yang harus dijunjung dalam sidang yang menarik perhatian publik ini.

 

"Jika dalam proses ini ada yang keliru, baik dari jaksa maupun hakim, maka akan dinilai oleh seluruh rakyat Indonesia dan berpengaruh pada penegakan hukum," ujarnya. (fajar)


Muhammad Fithrat Irfan Mantan staf ahli anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), melaporkan 95 anggota DPD ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan suap pemilihan Ketua DPD dan Wakil Ketua MPR 


JAKARTA — Mantan staf ahli Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Muhammad Fithrat Irfan, melaporkan 95 anggota DPD ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Laporan ke KPK itu terkait dugaan suap pemilihan Ketua DPD dan Wakil Ketua MPR.

 

Kepada wartawan, Fithrat Irfan mengakui telah menyampaikan 95 nama anggota DPD yang diduga memberi dan menerima suap untuk memenangkan pasangan calon pimpinan DPD dan Wakil Ketua MPR.

 

"Saya sudah serahkan 95 nama ke KPK," kata Fihtrat, seperti dilansir Fajar.co.id, Kamis (13/3).

 

Meski sudah menyerahkan 95 nama ke KPK, Fihtrat Irfan tak bersedia mengungkap nama-nama anggota DPD yang dicurigai memberi dan menerima suap. Ia mengaku menyerahkannya ke KPK untuk menilai dan menyelidiki kasus dugaan suap tersebut.

 

Bukti lain yang juga telah diserahkannya ke KPK berupa tangkapan layar percakapan yang mendukung laporan. "Kami percayakan saja kepada pihak KPK," kata Irfan.

 

Dalam laporannya, Irfan mengungkap satu anggota DPD dijatah USD13 ribu untuk memenangkan pihak tertentu. Jumlah itu terbagi dua yakni untuk pemilihan Ketua DPD USD5 ribu dan Wakil Ketua MPR USD8 ribu.

 

"Jadi ada USD 13 ribu total yang diterima oleh mantan bos saya yang merupakan satu di antara 95 orang," kata Fithrat Irfan.

 

Kuasa hukum Irfan, Azis Yanuar menambahkan dugaan suap ini tidak hanya melibatkan anggota DPD tetapi juga petinggi partai. Ia menyerahkan rekaman percakapan sebagai bukti tambahan.

 

"Pelapor menyatakan rekaman yang ia setorkan pada tanggal 18 Februari 2025 ke KPK itu ialah percakapan antara ia dengan Ahmad Ali Eks Wakil Ketua umum Partai Nasdem," kata Azis.

 

Wakil Ketua MPR RI, Abcandra Muhammad Akbar Supratman menanggapi isu dugaan suap terkait proses pemilihan pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari unsur DPD periode 2024–2029.

 

"Jadi, memang ini tidak hanya menjadi isu daerah, tetapi isu nasional. Saya sampai dengan hari ini masih santai-santai saja karena saya merasa tidak melakukan," kata Akbar kepada wartawan saat berkunjung ke Kota Palu, Sulawesi Tengah, dilansir dari ANTARA.

 

Wakil Ketua MPR dari unsur DPD RI itu mengemukakan dukungan yang ia dapatkan untuk menjadi wakil ketua MPR RI merupakan murni dukungan suara.

 

"Itu bisa dicek dari teman-teman lintas senator," ucapnya.

 

Perihal rekaman beredar yang mengindikasikan adanya dugaan suap, ia menuturkan tidak akan melaporkan penyebar rekaman suara tersebut. "Aman, tidak ada," sebutnya. (*)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.