Latest Post




KETURUNAN Tionghoa atau China dikenal ada di mana saja. Di mana bumi membentang pasti ada China nya. Pameo demikian tidak berlaku untuk Kota Pariaman pasca insiden “Kansas” yang terjadi sekitar tahun 1944 bertepatan sebelum hengkangnya Jepang dari tanah air. Peristiwa Kansas itu sendiri terjadi di Simpang Kampuang Cino Pariaman tepatnya di simpang tugu tabuik sekarang. 

 

Insiden Kansas adalah peristiwa pembunuhan (dengan penggorokan) terhadap beberapa orang penduduk keturunan Tionghoa di Pariaman karena sesuatu alasan. Kansas dalam artian Kanso, adalah alat yang dilakukan untuk menggorok. Kanso bisa disamakan dengan jenis logam seng tebal yang terdapat pada beberapa kaleng. Kanso yang digunakan saat itu diambil dari bekas kaleng roti. 

 

Peristiwa Kansas dipicu akibat tidak setianya beberapa oknum penduduk China Pariaman kepada pejuang pribumi. Tidak semuanya memang, namun akibat gesekan rasial tersebut seluruh komunitas China yang ada di Pariaman hengkang menyelamatkan diri ke berbagai daerah. Aset mereka yang tinggal begitu saja, beberapa waktu kemudian dijual murah melalui perantara.

 

Sebelum peristiwa tersebut, komunitas China sangat ramai di Pariaman. Mereka punya pandam pakuburaan tersendiri yakni di belakang Makodim 0308/Pariaman (sekarang). Masyarakat Tionghoa di Pariaman sudah ada sejak zaman Belanda. Mereka yang ada di Pariaman umumnya para pedagang, pemilik pabrik roti, pabrik sabun, hingga distributor rempah-rempah dan kebutuhan sehari-hari (kumango). 

 

Komunitas China Pariaman bermukim di area Kampung Chino yakni di Jl. SB Alamsyah Kp Balacan, Kp Jawo, dan Kp Pondok. Sebelum Insiden Kansas, mereka hidup rukun berdampingan dengan pribumi. Tempat sembahyang China di Pariaman terletak di Simpang Tabuik yang sekarang persis berada di deretan Toko Ali. 

 

Merujuk pada sejarah yang dituturkan saksi hidup yang sempat kami wawancarai, kekecewaan pribumi pada komunitas China bermula dari diketahuinya lokasi pejuang pribumi oleh tentara Jepang. Pejuang pribumi saat itu banyak dieksekusi di tempat persembunyiannya. Apa yang mereka rencanakan selalu diketahui oleh tentara tentara Jepang. 

 

Atas keganjilan tersebut, pribumi saat itu memutar otak. Mereka mencari dimana letak keganjilannya. Mereka berpikir ada sesuatu yang telah terjadi. Pengkhianatan terhadap mereka telah dilakukan. 

 

Pejuang pribumi yang tersisa mengutus anak-anak untuk memata-matai beberapa oknum yang dicurigai. Mereka disuruh bermain-main di halaman sejumlah kedai yang acap digunakan tentara Jepang berkumpul. Mulailah anak-anak bermain gasing, patok lele dan permainan tradisional lainnya ke tempat-tempat yang disuruh pejuang pribumi. 

 

Usaha tersebut ternyata berhasil. Salah satu kedai kopi milik non pribumi China di Kp Balacan dikupingi pembicaraannya. Pemberi informasi memang bukan pemilik kedai, tapi langganan tetap yang juga keturunan China. Rupanya selama ini dia menjadi mata-mata (spionase) Tentara Jepang. 

 

Singkat cerita, mata-mata Jepang tersebut “diambil malam” oleh pejuang. Dari penuturan yang kami himpun, komplotan mata-mata itu semuanya berjumlah tiga orang. Tiga orang pengkhianat tersebut dibawa ke tempat persembunyian pejuang. Di sana mereka diinterogasi dan akhirnya mengakui perbuatannya. 

 

Atas perbuatannya itu, ketiga orang tersebut dieksekusi dengan cara yang belum pernah terpikirkan olehnya. Leher mereka digorok hingga nyaris putus dengan Kanso yang maha perihnya. Ketiga mayat tersebut diletakan menjelang subuh tepat di depan tugu tabuik sekarang ini berada. Kanso sebagai alat eksekusi masih menempel di leher mereka. ** 


Catatan Oyong Liza Piliang (ts/pariamannews)

 



Jakarta, SN – Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan rezim Joko Widodo dianggap memproduksi rasisme secara masif.

 

Begitu tegas disampaikan oleh aktivis Papua, Natalius Pigai dalam akun Twitternya @NataliusPigai2.

 

Dalam tulisannya itu, Pigai juga menyertakan link berita soal pernyataan dari Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PDIP, Hasto Kristiyanto yang mengatakan bahwa PDIP mendambakan Walikota Solo dari Papua atau orang Jawa jadi Walikota di Papua.

 

"PDIP dan pemerintahnya partai yang diisi orang rasialis. Zaman Jokowi dan PDIP memproduksi rasisme secara massif," ujar Pigai seperti dikutip Kantor Berita Politik RMOL, Minggu siang (24/1).

 

Pigai pun juga menyoroti para menteri kabinet Jokowi yang tidak ada yang berasal dari rakyat Papua.

 

"Mau bantah? Dari 34 menteri, satu Menteri dari Papua saja tidak ada, itu bukti gamblang bahwa kalian rasis. Jadi jangan pura-pura persatuan dan bhinneka yang utopis," katanya.

 

Bahkan, kata Pigai, selama pemerintahan Jokowi, banyak konflik dan kejahatan di Papua yang cenderung didasari rasisme.

 

Mantan Komisoner Komnas HAM ini pun mengajak agar isu-isu rasisme bisa segera dihapuskan dari kehidupan di Indonesia.

 

"Selama pemerintahan Joko widodo, pembanaian dan kejahatan HAM di Papua cenderung didasari rasisme, kita harus hapuskan itu," pungkasnya. (sanca)


Natalius Pigai jadi korban Rasisme dari para pendukung Jokowi/ Net



Jakarta, SN – Serangan rasis kembali dilakukan terhadap aktivis HAM asal Papua, Natalius Pigai. Jika sebelumnya dilakukan Permadi Arya alias Abu Janda, kali ini ujaran rasis tersebut dilakukan oleh Ambroncius Nababan.

 

Hal inipun memicu kecaman dari berbagai pihak. Bahkan, akun media sosial Twitter @albertsamuel28 meminta Kaesang Pangarep mengingatkan ayahnya, Presiden Joko Widodo.

 

Sebab, Ambroncius Nababan diduga relawan Jokowi dengan menjabat Ketua Umum Projamin.

 

"Sejak saya lahir sampe dewasa sekarang ini, baru di era Jokowi saya sering temukan orang Batak pendukung @jokowi yang rasis seperti ini terhadap orang Papua. @kaesangp, belum terlambat untuk kamu ingatkan bapak kamu agar dirinya bisa kontrol pendukungnya fanatisme seperti ini," cuit akun tersebut.

 

"Mohon agar teman-teman yang orang Batak tidak ikut tersinggung, yah. Terima kasih," tambahnya.

 

Baru-baru ini, beredar tangkapan layar unggahan akun Facebook Ambroncius Nababan yang melontar ujaran rasis terhadap aktivis HAM Natalius Pigai.

 

Parahnya lagi, Ambroncius diduga merupakan relawan Presiden Joko Widodo. Ujaran tersebut telah beredar dan membuat heboh media sosial.

 

Sejumlah netizen pun mengecam aksi tersebut. Namun berdasar penelusuran Indozone.id, akun Facebook Ambroncius diduga telah dihapus setelah unggahannya viral. Meski demikian, unggahan-unggahan tersebut sudah beredar luas di media sosial.

 

"Mohon maaf yg sebesar-besar nya. Vaksin sinovac itu dibuat utk MANUSIA bukan utk GORILLA apalagi KADAL GURUN. Karena menurut UU Gorilla dan kadal gurun tidak perlu di Vaksin. Faham?" tulis akun Facebook Ambroncius Nababan pada Selasa (12/1/2021).

 

Berdasarkan penelusuran, Ambroncius diduga menjabat sebagai Ketua Umum Projamin. Namun yang bersangkutan belum dapat dimintai konfimasi mengenai hal ini, dikutip Gelora.co, Jumat (23/1/21).

 

Sementara itu, kecaman sudah beredar luas di media sosial.

"Contoh kelakuan rasis : (trus saya diblock...) pintar! Kl ada yg mau, direport saja org tsb. Kalau suku - suku lain di Indonesia, yang merasa dirinya lebih cakep secara fisik dibandingkan orang - orang Papua terus saja mengolok - olok orang Papua, maka jangan marah kalau mereka minta merdeka," tulis akun Facebook Kezia Dewi.

 

"Gilak nih orang. Rasisnya sudah kelewatan. Kenapa orang-orang kayak gini bebas menebar kebencian dan permusuhan?" tulis akun Facebook Wendra Setiawan. (**)



Contoh kelakuan rasis : (trus saya diblock... 😆) pintar! Kl ada yg mau, direport saja org tsb. Kalau suku - suku lain...

Posted by Kezia Dewi on Wednesday, January 20, 2021

Gilak nih orang. Rasisnya sudah kelewatan. Kenapa orang-orang kayak gini bebas menebar kebencian dan permusuhan? https://www.facebook.com/ambroncius.nababan

Posted by Wendra Setiawan on Wednesday, January 20, 2021

 



Jakarta, SN – Aparat kepolisian diminta bersikap adil dalam mengatasi isu bernada SARA yang terjadi di negeri ini. Seperti kasus rasial terbaru yang menimpa mantan komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai.

 

Perlakuan rasial itu tersirat dari apa yang dilakukan Ketua Relawan Pro Jokowi Amin (Projamin), Ambroncius Nababan.

 

Koordinator Forum Rakyat, Lieus Sungkharisma menilai aksi Ambroncius yang seolah menyamakan Natalius Pigai dengan seekor gorila sudah sangat keterlaluan dan tidak bisa didiamkan begitu saja. Dia mendesak aparat kepolisian bisa adil dalam melihat kasus tersebut.

 

“Sudah berkali-kali Natalius Pigai mendapat perlakuan rasis. Kali ini Ambroncius Nababan yang bahkan menyamakan Natalius dengan Gorilla. Ini sangat keterlaluan dan jelas tindakan rasis yang tidak sedikitpun mencerminkan manusia Indonesia yang ber-Pancasila,” ujarnya kepada redaksi RMOL, Minggu (24/1).

 

“Karena itu, kami meminta polisi segera menangkap orang itu,” sambung Lieus.

 

Lieus menjelaskan bahwa dalam postingan di akun Facebook pribadi pada Selasa (12/1), Ambroncius Nababan kedapatan memasang foto Natalius berdampingan dengan seekor Gorilla dengan tambahan kalimat yang berbunyi;  “Mohon maaf yg sebesar-besarnya. Vaksin sinovac itu dibuat utk MANUSIA bukan utk GORILLA apalagi KADAL GURUN. Karena menurut UU Gorilla dan kadal gurun tidak perlu di Vaksin. Faham?”.

 

Namun unggahan itu, duga Lieus, sudah dihapus karena tak ada lagi di FB milik Ambroncius. Hanya saja, unggahan tersebut telah viral dan beredar luas di media sosial.

 

Menurut Lieus, penghinaan dan tindakan rasis Ambroncius Nababan yang diduga menjabat sebagai Ketua Umum Projamin itu tidak bisa dibenarkan.

 

“Ini rasisme yang sangat parah. Seolah dia orang yang paling kecakepan di negeri ini dengan mengata-ngatai dan menyamakan Natalius yang asal Papua itu seperti gorilla. Biadab sekali pola pikir orang ini,” tegas Lieus.

 

Ditambahkan Lieus, janganlah perbedaan pendapat atau dukungan dalam politik menjadikan bangsa ini jadi kehilangan adab.

 

“Tak ada satupun manusia di bumi ini yang sempurna. Sikap seperti si Ambroncius inilah yang memecah belah bangsa ini dan membuat orang-orang Papua minta merdeka,” kata Lieus.

 

Lieus mengaku tidak habis pikir kenapa saat ini orang-orang penyebar kebencian dan bersikap rasis seperti Ambroncius Nababan ini seakan mendapat angin dari pemerintah.

 

“Mereka seolah-olah bebas melakukan dan mengatakan apa saja. Jika hal seperti ini terus  dibiarkan, maka akan sulit bagi bangsa ini untuk tetap bersatu dalam bingkai kebhinnekaan,” katanya lagi.

 

Oleh karena itu, tambah Lieus, sebelum semuanya terlambat, Polisi harus segera bertindak.

 

“Tangkap orang ini karena dia telah menimbulkan keresahan dan melakukan perbuatan tidak menyenangkan,” ujar Lieus.

 

“Jangan karena dia relawan Jokowi dan merasa punya kedekatan dengan para pejabat di negeri ini, dia bisa berbuat sesukanya dan polisi memdiamkannya. Padahal kalau yang melakukan penghinaan itu orang yang lain, polisi sangat cepat bertindak,” ujar Lieus kesal.(sanca)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.