Latest Post


 

SANCAnews.id – Penyidik Polda Jawa Barat (Jabar) memutuskan untuk menahan Habib Bahar bin Smith setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penyebaran berita bohong.

 

Habib Bahar tak sendiri, penyidik juga menetapkan seorang berinisial TR sebagai tersangka di kasus yang sama. TR merupakan pengunggah video ceramah Habib Bahar ke salah satu akun YouTube.

 

Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan mengatakan kini Habib Bahar dan TR sudah ditahan di Rutan Polda Jabar. Menurut dia, ada dua alasan yang dipakai penyidik untuk menahan Habib Bahar dan TR.

 

“Alasan pertama, penyidik mengkhawatirkan BS dan TR mengulangi tindak pidana dan menghilangkan barang bukti,” ujar Ramadhan di Mabes Polri, Selasa (4/1).

 

Kemudian, alasan keduaHabib Bahar bin Smith akan menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka kasus dugaan berita bohong atau hoax terkait peristiwa KM 50 di Polda Jawa Barat (Jabar).

 

"Hari ini (diperiksa perdana sebagai tersangka)," ujar Kuasa hukum Habib Bahar, Ichwan Tuankotta, kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu pagi (5/1).

 

"Hari ini, mulainya jam 10 (10.00 WIB) kayaknya," tambah Ichwan.

 

Ichwan sebelumnya menyebut mendapat informasi Habib Bahar akan diperiksa sebagai tersangka pada Kamis (6/1). Namun, ternyata pemeriksaan perdana sebagai tersangka dilaksanakan hari ini.

 

Pemeriksaan sebagai tersangka ini baru dilakukan karena Habib Bahar meminta ditunda usai ditetapkan sebagai tersangka pada Senin kemarin (3/1) karena kelelahan.

 

Hingga saat ini, kuasa hukum Habib Bahar masih belum mempertanyakan dua alat bukti yang digunakan sebagai dasar penetapan tersangka terhadap Habib Bahar.

 

Habib Bahar maupun kuasa hukum juga masih belum mengetahui perkataan terkait KM 50 yang dianggap sebagai berita bohong. Yang pasti, Habib Bahar dijakikan tersangka atas laporan yang dilayangkan oleh Tubagus Nur Alam pada 7 Desember 2021.(RMOL) karena ancaman hukuman kepada kedua tersangka di atas lima tahun. Keduanya dijerat Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) UU 1/1946 juncto Pasal 55 KUHP dan/atau Pasal 15 UU 1/1946 juncto Pasal 55 KUHP dan/atau Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45a UU 19/2016 tentang ITE juncto Pasal 55 KUHP.

 

Sebelumnya Habib Bahar diperiksa sebagai terlapor sejak pukul 12.30 selama sebelas jam. Setelah itu dia ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.

 

Pemeriksaan ini berdasar laporan bernomor B/6354/12/2021/SPKT PMJ atas dugaan penyebaran informasi hoaks ketika Habib Bahar berceramah di Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung, pada 11 Desember 2021, sementara pengadu berinisial TNA.

 

Dalam proses pengusutan, polisi sudah meminta keterangan 50 saksi dan menyita enam barang bukti. Penyidik membagi dua klaster berdasarkan tempat kejadian perkara, untuk mempermudah mengidentifikasi para saksi. Pertama, klaster Bandung sebagai TKP awal tempat Habib Bahar berceramah, diperiksa 15 orang saksi. Lalu yang kedua klaster Garut ada sepuluh saksi. (rmol)



 

SANCAnews.id – Ketua LBH Umat Chandra Purna Irawan curiga di balik penetapan tersangka Habib Bahar bin Smith oleh penyidik Polda Jawa Barat adalah bagian dari serangkaian pembunuhan karakter terhadap ulama atau aktivis yang kritis.

 

"Dengan dilekatkan sebagai orang yang berbohong, kriminal, residivis," kata Chandra dalam video keterangan pers yang diterima, Rabu (5/1).

 

Jika analisis itu benar, kata Chandra, hal itu sesuai dengan rekomendasi Rand Corporation, yaitu 'Delegitimize individuals and positions associated with hypocrisy, criminal and immorality' atau serangan terhadap individu atau karakter dari tokoh-tokohnya

 

"Upaya ini dilakukan agar meminimalisir dukungan publik terhadap tokoh-tokoh tersebut," ungkapnnya.

 

Dalam kasus dugaan penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian, penyidik Polda Jawa Barat menjerat Bahar Smith dengan Pasal 14 Ayat 1 dan 2 UU 1/1946 tentang peraturan hukum pidana Jo Pasal 55 KUHP dan atau Pasal 15 UU 1/1946 tentang peraturan hukum pidana Jo Pasal 55 KUHP dan atau Pasal 28 Ayat 2 Jo Pasal 45A UU ITE Jo Pasal 55 KUHP.

 

"Bahwa pasal tersebut bersifat karet, lentur, dan tidak memuat definisi pasti yang ketat. Dalam hal ini apa yang dimaksud 'berita atau pemberitahuan bohong' dan 'keonaran di kalangan rakyat'," tutur Chandra.

 

Semestinya, kata dia, ada definisi konkret dan memiliki batasan yang jelas mengenai frasa 'berita atau pemberitahuan bohong' dan 'keonaran di kalangan rakyat tersebut.

 

Apabila tidak, maka dikhawatirkan bersifat karet/lentur, tidak bisa diukur, dan penerapannya dikhawatirkan berpotensi sewenang-wenang dalam menafsirkan.

 

"Hukum pidana mesti bersifat lex stricta, yaitu hukum tertulis tadi harus dimaknai secara rigid, tidak boleh diperluas atau multitafsir pemaknaannya," kata Chandra.

 

Chandra menyebut frasa 'keonaran di kalangan rakyat' pun hingga saat ini tidak ada definisi dan batasan yang jelas. Hal itu dikhawatirkan dan berpotensi menjadikan aparat penegak hukum dapat dengan secara subjektif dan sewenang-wenang menentukan status suatu kondisi dimaksud. (rmol)



 

SANCAnews.id – Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM) mendukung Polda Jabar melakukan penahanan terhadap Habib Bahar Bin Smith dalam kasus dugaan penyebaran berita bohong.

 

Hal tersebut disampaikan Ketua Umum DPP IMM Abdul Musawir Yahya dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa (4/1).

 

Pria yang akrab disapa AMY ini mengatakan, langkah penahanan yang dilakukan oleh Polda Jabar sudah semestinya dilakukan guna menjaga ketertiban hukum di Indonesia.

 

​“Kami DPP IMM mendukung langkah Polda Jabar menahan Habib Bahar Bin Smith karena penahanan tersebut patut dilakukan guna kepentingan penyidikan. Apapun status hukum yang ditetapkan kepada Habib Bahar Bin Smith nantinya, baik sebagai saksi ataupun tersangka, Polda Jabar yang berada dibawah naungan Polri perlu menjaga ketertiban hukum di Indonesia demi kondusifitas masyarakat. Sebab, menurut kami, kasus yang menjerat Habib Bahar Bin Smith ini bukan pertama kali terjadi dan pastinya selalu viral di Indonesia, maka untuk menjaga kondusifitas NKRI, penahanan ini sudah tepat dilakukan," kata AMY.

 

​AMY menganjurkan bagi para pendakwah diseluruh tanah air untuk bijak dalam menyampaikan isi ceramah. Menurutnya, dakwah yang dilakukan itu harus dengan rasionalitas, kesantunan serta mampu membuat pendengarnya tergerak untuk selalu melakukan hal yang baik kepada seluruh umat manusia.

 

Selain itu, materi ceramah yang disampaikan jangan sampai mengarah kepada ujaran kebencian bahkan berita bohong guna menunjukan kepada publik bahwa islam adalah agama yang rasional dalam hal kebaikan serta tidak anarkis dalam melakukan aktivitas dakwahnya.

 

​“Kembalinya Habib Bahar Bin Smith berurusan dengan pihak penyidik mengisyaratkan bagi seluruh pendakwah di Indonesia untuk rasional dan bijak dalam menyampaikan materi ceramah. Dakwah dalam islam itu subtansinya harus rasional dan tujuannya untuk memanggil atau mengajak pendengarnya melakukan hal yang baik, bukan justru sebaliknya,” tukasnya. (rmol)



 

SANCAnews.id – Usai penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Direskrimsus) Polda Jawa Barat menetapkan Habib Bahar bin Smith sebagai tersangka dan langsung ditahan dalam kasus dugaan ujaran kebencian dan penyebaran berita bohong, puluhan ulama di Tasikmalaya bergerak mendatangi Mapolres Tasikmalaya.

 

Dalam sebuah video yang diterima Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (4/1), puluhan ulama, tokoh masyarakat dan santri itu melakukan audiensi dengan Kapolres Tasikmalaya guna menyampaikan keresahan masyarakat atas tindakan aparat yang dinilai diskriminasi dalam menegakkan hukum terhadap Bahar Smith.

 

“Yang isinya adalah kami menyampaikan keresahan kaum muslimin di Kabupaten Tasikmalaya atas diskriminasi yang menimpa habibana Bahar bin Smith,” kata seorang pria bersorban di depan Mapolres Tasikmalaya. 

 

Dalam video itu, pria bersorban menyampaikan agar aparat penegak hukum dalam hal ini Polri berlaku adil dalam melakukan penegakan hukum dengan tidak diskriminatif.

 

“Kalau seandainya ulama, habaib yang melalukan kritikan untuk perbaikan daripada negeri ini kemudian dilaporkan oleh salah satu pihak ditangani begitu cepat, maka kami pun menuntut mereka-mereka yang melakukan penistaan agama itu segera diusut tuntas,” seru pria itu.

 

“Seperti cepatnya pengusutan terhadap ulama, takbir,” seru dia lagi diiringi takbir. (rmol)



 

Oleh: Abdul Chair Ramadhan

(Ahli Hukum Pidana)

PENETAPAN status tersangka atas Habib Bahar Smith yang diikuti dengan penangkapan patut dipertanyakan. Dikatakan demikian oleh karena selain proses hukumnya sangat cepat, juga penerapan salah satu deliknya adalah sama dengan Habib Rizieq Syihab pada RS UMMI yakni Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

 

Delik yang dikenal dengan “berita bohong” (hoaks) dalam banyak perkara mengandung kepentingan politis ketimbang yuridis. Demikian itu menjadikannya cenderung subjektif dalam pemenuhan unsur-unsur tindak pidana sebagaimana yang dimaksudkan dalam rumusan undang-undang.

 

Dapat disebutkan disini unsur “keonaran di kalangan rakyat” dipahami secara menyimpang dari maksud pembentuk undang-undang. Keonaran yang tidak lain adalah suatu kondisi fisik seperti huru hara atau kerusuhan di kalangan rakyat telah diperluas pengertiannya mencakup kegaduhan di dunia maya (media sosial).

 

Pertentangan pendapat antara pihak yang pro dan kontra terhadap suatu konten berita/informasi yang disampaikan secara virtual (youtube) dimaknai sebagai kegaduhan yang berpredikat sama dengan keonaran fisik.

 

Sebagai contoh, pada perkara RS UMMI pertentangan pendapat tersebut itulah yang kemudian menjadi dalil terpenuhinya unsur “keonaran di kalangan rakyat” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

 

Padahal pihak yang pertama kali mempermasalahkan kondisi kesehatan Habib Rizieq Syihab adalah para buzzer. Keberadaan buzzer-buzer tersebut patut diduga sengaja dibentuk untuk menimbulkan kegaduhan (pro-kontra) di media sosial, namun terhadap mereka tidak dilakukan proses hukum.

 

Disini dipertanyakan apakah hal yang sama akan berlaku terhadap Habib Bahar Smith dalam kaitannya dengan pernyataan tentang peristiwa pembuhunan keji terhadap keenam laskar FPI.

 

Pernyataan Habib Bahar Smith tentang pembunuhan yang didahului dengan penyiksaan sudah menjadi pengetahuan umum. Dengan demikian bukan hanya Habib Bahar Smith yang mengatakan hal itu. Masyarakat luas dan didalamnya para tokoh juga menyampaikan hal yang sama, bahkan ada Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan Laskar Front Pembela Islam (TP3).

 

Dalam Buku Putih TP3 yang berjudul “Pelanggaran HAM Berat Pembunuhan Enam Pengawal HRS”, terdapat penjelasan berbagai kondisi yang dialami para korban.

 

Begitupun ketika pihak keluarga korban KM50 dan Penasehat Hukum audiensi dengan Komisi III DPR RI dugaan terjadinya penyiksaan juga telah disampaikan. Kesemuanya itu sudah viral terlebih dahulu sebelum Habib Bahar Smith menyampaikannya.

 

Seharusnya terhadap berbagai informasi dan data-data yang mendukung adanya sejumlah tanda-tanda penyiksaan pada tubuh beberapa korban menjadi petunjuk terjadinya penganiayaan berat sebelum tindakan penembakan.

 

Adalah suatu hal yang aneh apabila Habib mengatakan adanya penyiksaan sebab pemberitaan/informasi tersebut kemudian dirinya dikatakan telah menyebarkan berita bohong yang menimbulkan keonaran di kalangan rakyat.

 

Seiring dengan itu, selama ini tidak pernah ada suatu kondisi kerusuhan atau huru hara terkait dengan pemberitaan yang viral tersebut.

 

Dalam hukum pidana berlaku hubungan ‘sebab-akibat’ (kausalitas) guna menentukan sebab yang paling dominan terjadinya akibat. Untuk kemudian menjadi dalil terpenuhinya hubungan antara ‘perbuatan’ (actus reus) dan ‘kesalahan’ (mens rea) seseorang guna dapat atau tidaknya dimintakan pertanggungjawaban pidana.

 

Pada perkara Habib Bahar Smith tidak ada kausalitas antara pernyataannya dengan timbulnya akibat berupa terjadinya keonaran fisik di kalangan rakyat. Uraian demikian tentu panjang pembahasan teoretisnya.

 

Penulis singkatkan saja bahwa pernyataan yang disampaikan tidak terkualifikasi sebagai berita illegal (melawan hukum atau tanpa hak). Pada dirinya tidak pula ada kehendak untuk mewujudkan timbulnya akibat yang dilarang oleh Undang-Undang Hukum Pidana (in casu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana).

 

Tidak ada penggunaan pikiran secara salah maupun ‘niat jahat’ (dolus malus) yang mengarahkan dirinya secara ‘dengan sengaja’ untuk mewujudkan akibat yang dilarang.

 

Terlebih lagi undang-undang a quo telah dihapuskan dalam Rancangan KUHP Tahun 2019, disebutkan dalam Pasal 626 Ayat 1 huruf a. Penghapusan tersebut menandakan bahwa sudah tidak ada lagi sebab atau sifat yang menjadikannya sebagai norma larangan. Singkat kata, apa yang disampaikan bukan delik. 

(Bogor, 4 Januari 2022)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.