Latest Post


 

SANCAnews.id – Polda Jabar akhirnya menetapkan Habib Bahar bin Smith menjadi tersangka dalam kasus dugaan ujaran kebencian. Penetapan tersangka diumumkan pada Senin (3/1) malam atau setelah Bahar menjalani pemeriksaan di Polda Jabar.

 

Selain itu, Polda Jabar juga menetapkan pengunggah video ceramah Bahar di YouTube berinisial TR sebagai tersangka karena dinilai telah menyebarkan berita bohong.

 

"Penyidik telah mendapatkan setidaknya dua alat bukti yang sah sesuai dengan pasal 184 KUHP serta didukung barang bukti yang dijadikan dasar untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka," kata Dirreskrimsus Polda Jabar Kombes Arif Rachman di Mapolda Jabar, Senin (3/1).

 

Keduanya ditetapkan jadi tersangka usai diperiksa sejak pukul 12.15 WIB. Penetapan tersangka dilakukan berdasarkan dua alat bukti yang sah.

 

"Maka penyidik telah meningkatkan status hukum saudara BS (Bahar Smith) dan TR sebagai tersangka," ucap Arif.

 

Sebelumnya, selain Bahar, TR yang merupakan pengunggah konten video di YouTube pun turut diperiksa oleh polisi.

 

Polisi sempat memeriksa sekitar 50 saksi dan menyita sejumlah barang bukti seperti flashdisk dan ponsel dalam perkara tersebut.

 

Bahar harus kembali berurusan dengan hukum. Dia dilaporkan terkait ceramahnya di Kabupaten Bandung atas dugaan ujaran kebencian. Kasusnya bahkan sudah naik penyidikan.

 

Polda Jawa Barat belum membeberkan secara detail kasus tersebut. Habib Bahar dijerat dugaan tindak pidana menyebar informasi untuk menimbulkan rasa kebencian dan atau permusuhan individu dan atau kelompok berdasarkan SARA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45A ayat (2) UU RI Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan atau Pasal 14 dan Pasal 15 UU RI nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana. (kumparannews)



 

SANCAnews.id – Pendukung Habib Bahar bin Smith masih bertahan di depan markas Polda Jabar. Hingga pukul 22.44 WIB, Habib Bahar masih diperiksa tim penyidik gabungan dari Direktorat Reserse Kriminal Umum dan Khusus Polda Jabar.

 

Artinya, hampir 11 jam Habib Bahar berada di Markas Polda Jabar untuk menjalani pemeriksaan terkait kasus ujaran kebencian.

 

Dilansir jabar.jpnn.com, pendukung Bahar Smith tampak memadati trotoar pembatas jalan. Mereka menyanyikan selawat nabi dengan suara lantang. Polisi pun tampak berjaga di depan gerbang masuk markas Polda Jabar.

 

Meski begitu arus lalu lintas terpantau lancar dan kendaraan masih bisa melaju tanpa hambatan.

 

Sebelumnya diberitakan, Habib Bahar memenuhi panggilan penyidik Polda Jabar untuk menjalani pemeriksaan terkait kasus ujaran kebencian, Senin (3/1). Dia tiba di Markas Polda Jabar di Bandung didampingi kuasa hukumnya.

 

Pemilik sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Tajul Alawiyyin Bogor itu menegaskan kehadirannya memenuhi panggilan penyidik Polda Jabar merupakan sikap kooperatif yang selalu ditunjukkan olehnya sebagai warga negara yang baik.

 

"Saya datang atas panggilan pihak Polda Jabar, maka saya datang kemari," kata Habib Bahar.

 

Kabid Humas Polda Jabar Kombes Ibrahim Tompo menyampaikan mengatakan Habib Bahar yang kini tengah menjalani pemeriksaan masih berstatus sebagai saksi.

 

Meski berstatus saksi, namun proses hukum kasus tersebut sudah di tahap penyidikan, "Jadi memang pemeriksaan hari ini (Bahar) sebagai saksi," kata Kombes Ibrahim. (jpnn)



 

SANCAnews.id – Pengamat militer Sidratahta Mukhtar mengomentari aksi TNI agresif masuk di ranah hukum mengurusi Habib Bahar Smith dan eks FPI.

 

Pengamat militer ini mengingatkan, politik TNI adalah politik negara. Sesuai doktrin Panglima Besar Jenderal Soedirman.

 

"TNI karena lahir langsung dari rakyat saat perang gerilya, maka ada kondisi dmana praktek perang gerilya,yakni TNI menjangkau rakyat itu masih terjadi," kata Mukhtar, pengamat militer dari Universitas Kristen Indonesia (UKI), saat dihubungi, Senin (3/1/2022).

 

Mukhtar menegaskan, kalau di negara demokrasi yang mengedepankan supremasi sipil dan supremasi hukum, tentu saja, apa yang kita saksikan di Bogor itu tak akan terjadi.

 

"Penguasa wilayah yang disebut oleh Danrem, itu konsep saat darurat militer. Tapi kalau pada masa damai, urusannya pada pemerintah daerah dan Kepolisian," ujarnya.

 

Dimasa damai, lanjutnya, TNI melakukan pembinaan teritorial. Sayangnya konsep pembinaan itu yang susah dimengerti. Sejauhmana batasnya yang diperbolehkan TNI diwilayah tertentu.

 

"Kalau guna pengumpulan data intelijen kewilayahan itu memang bagus tapi dilaporkan ke Satuan diatasnya lalu ke BAIS TNI dan lain-lain," katanya.

 

Ia mengatakan, UUD 1945 Pasal 30 upaya pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta. (Sishankamrata).

 

"Penafsiran Pasal 30 tentang Sishankamrata itu yang urgen. Karena kejadian kemarin dengan Bahar Smith. Dimana kesan saya TNI menafsirkan pasal itu dengan perbolehkan TNI masuk ke ranah sipil, dengan berurusan "hukum" langsung dengan warga," bebernya.

 

Muhktar mengatakan, sejatinya diperolehkan masuk ke situ jika ada ancaman terhadap kedaulatan negara, separatisme dan lainnya. Untuk terorisme misalnya harus merupakan perbantuan pada Polri

 

"Aturan Perpresnya belum ada untuk libatkan TNI pada terorisme," tegasnya. (poskota)





 

SANCAnews.id – Analis Kebijakan Madya Bidang Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Kombes Trunoyudo W Andiko menegaskan institusi Polri bertugas di bawah presiden Republik Indonesia. Hal ini sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

 

“Polri dalam hal ini masih pada koridor amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan UU Nomor 2/2002 tentang Polri,” tegasnya dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (3/1/2022).

 

Pernyataan itu disampaikan menanggapi ucapan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Letnan Jenderal TNI (Purn) Agus Widjojo, yang mengusulkan agar dibentuk Dewan Keamanan Nasional dan Kementerian Keamanan Dalam Negeri. Dengan demikian, kata Widjojo, Kementerian Keamanan Dalam Negeri akan menaungi Polri.

 

Akan tetapi, Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 2/2002 telah dengan tegas menyantumkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah presiden. Dengan demikian, hingga saat ini, institusi Polri masih beroperasi di bawah presiden dan bertanggung jawab secara langsung kepada presiden.

 

“Polri saat ini bekerja masih berdasarkan pada amanah undang-undang. Amanah undang-undang tentunya menjadi amanah masyarakat, dan tentunya ini yang masih kami jalani,” kata dia.

 

Adapun wacana terkait menempatkan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri sudah pernah muncul pada 2014, khususnya ketika TNI sudah berada di bawah Kementerian Pertahanan. Pemisahan Kepolisian Indonesia dari ABRI –yang kemudian menjadi TNI– adalah salah satu hal yang terjadi sesudah reformasi bergulir pada 1998.

 

Kemudian, isu ini sempat kembali mencuat pada 2019 setelah Presiden Joko Widodo menunjuk mantan Kepala Kepolisian Indonesia, Jenderal Polisi (Purn) Tito Karnavian sebagai menteri dalam negeri hingga saat ini.

 

Hingga saat ini, masih belum ada pembahasan yang mendalam terkait penempatan Kepolisian Indonesia di bawah instansi kementerian.

 

Pada masa Orde Lama, organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia secara administratif berada di bawah Kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara dan secara operasional bertanggung jawab kepada jaksa agung.

 

Kemudian pada 1 Juli 1946 dia diubah garis tanggung jawabnya, yaitu kepada perdana menteri (kepala pemerintahan), dan tanggal itulah yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Bhayangkara. (fajar)



 

SANCAnews.id – Sejumlah netizen kembali mempertanyakan penaganan kasus dugaan ujaran kebencian yang dilakukan oleh Denny Siregar kepada santri di Polda Jawa Barat. Hal itu muncul di saat Polda Jabar gencar menanganai kasus dugaan ujaran kebencian yang dilakukan Habib Bahar bin Smith.

 

Berdasarkan penelusuran Republika.co.id, kasus yang menimpa Bahar bin Smith dan Denny Siregar sama-sama dugaan ujaran kebencian. Namun, sasaran ujaran kebencian yang dilakukan kedua orang itu berbeda. Nama pertama diduga melakukannya kepada Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Dudung Abdurachman, meski polisi membantah keterlibatan KSAD dalam kasus itu. Sementara Denny Siregar diduga melakukannya kepada para santri di Tasikmalaya.

 

Ceramah yang diduga berisikan ujaran kebencian yang dilakukan oleh Habib Bahar bin Smith berlangsung di sebuah tempat di Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung pada 11 Desember lalu. Tak sampai satu bulan, Polda Jabar langsung melayangkan surat pemanggilan. Sementara untuk kasus serupa yang menimpa Denny Siregar, hingga saat ini belum juga ada kejelasan.

 

Kasus ujaran kebencian yang diduga dilakukan Denny Siregar dilaporkan langsung oleh pimpinan Pesantren Tahfidz Quran Daarul Ilmi Tasikmalaya, Ustaz Ahmad Ruslan Abdul Gani ke Polresta Tasikmalaya pada 2 Juli 2020. Namun, kasus itu disebut tak jelas penanganannya hingga saat ini.

 

"Pertama, sebagai pelapor, saya kecewa dengan kasus Denny Siregar yang tidak diproses, bahkan tidak ada kabar dari Polda," kata dia, saat dihubungi Republika, Ahad (2/12).

 

Ia mengaku, terakhir kali mendapat kabar dari kepolisian, kasus itu telah dilimpahkan ke Mabes Polri. Namun, menurut dia, hingga saat ini tak ada laporan terkait perkembangan kasus itu. "Terakhir dapat dari Polda (Jabar). Biasanya kan ada surat perkembangan penyelidikan," kata dia.

 

Sejak awal, Ustaz Ruslan memang sudah dapat menduga, kasus yang dilaporkannya akan berhenti. Kecuali, lanjut dia, pihaknya terus melakukan pergerakan. Namun, pergerakan yang dilakukan nyatanya tak semasif sebelumnya. Alhasil, kasus itu tak jelas perkembangannya.

 

"Saya sebenarnya maju saja kalau yang lain juga bergerak, tapi mungkin yang lain juga dapat tekanan. Karena sampai saat ini tak ada pergerakan lagi," ujar Ustaz Ruslan.

 

Ihwal perbedaan penanganan antara kasus Denny Siregar dan Bahar bin Smith, Ustaz Ruslan menilai, itu menunjukkan aparat penegak hukum memiliki standar ganda. Menurut dia, dua kasus kasus itu sama-sama ujaran kebencian. Namun, penanganan yang dilakukan jauh berbeda.

 

"Giliran itu (kasus Bahar bin Smith), langsung didatangi oknum TNI. Sementara kasus yang dilaporkan oleh pesantren terkait denny siregar, tak ada kabar. Ini menunjukkan ketidakadilan dalam proses hukum," kata dia.

 

Kasus dugaan ujaran kebencian itu bermula dari tulisan singkat Denny Siregar melalui akun Facebook miliknya. Denny Siregar menulis tulisan dengan judul "ADEK2KU CALON TERORIS YG ABANG SAYANG" disertai unggahan foto santri yang memakai atribut tauhid. Belakangan diketahui, foto itu menampilkan santri Pesantren Tahfidz Quran Daarul Ilmi Tasikmalaya yang sedang membaca Alquran saat aksi 313 di Jakarta pada 2017 silam.

 

Pada Maret 2021, Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri dan Polda Jawa Barat saling lempar penanganan kasus pegiat sosial Denny Siregar. Pada Senin (15/3), Bareskrim Polri menyatakan belum ada pelimpahan kasus dugaan penghinaan dan ujaran kebencian terhadap santri Tasilkmalaya tersebut dari Polda Jabar. Hal itu membatah pernyataan Polda Jabar sebelumnya. **

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.