Latest Post

Nenek Nasikah kembali dirawat kedua anaknya setelah viral diserahkan ke Griya Lansia Malang. Foto: Kanit Binpolmas Satbinmas Polres Lamongan 

 

SURABAYA Media sosial dihebohkan dengan sikap dua orang anak yang menitipkan ibu kandungnya bernama Nasikah, 74 tahun asal Surabaya, ke Panti Jompo Griya Lansia Husnul Khatimah, Malang.

 

Mirisnya, dalam video yang beredar, kedua anak tersebut menandatangani surat pernyataan di panti jompo bahwa ibu kandung mereka diserahkan sepenuhnya, bahkan jika meninggal dunia, pihak keluarga tidak akan diberi tahu.

 

Menanggapi hal tersebut, anak kedua Nasikah, Fitria, membantah narasi dalam video tersebut. Ia dan adiknya, Sri Rahayu, hanya berniat menitipkan ibunya ke Griya Lansia.

 

Kemudian, dia dan saudara-saudaranya akan mengunjungi ibu mereka sebulan sekali sambil meninggalkan perbekalan.

 

"Saya cuma menitipkan. Nanti kan setiap bulannya saya ke sana bisa apa kasih uang buat itu, bisa jenguk. Sakit pun kan bisa dikabari sama pihaknya. Cuma di caption-nya itu loh di tulisannya membuang. Enggak boleh menjenguk, terus kalau mati pun enggak dikabari. Ternyata itu itu enggak benar," kata Fitria saat dihubungi, Senin (30/6).

 

Fitri mengungkapkan alasan dirinya menitipkan ibunya karena tidak ada tempat tinggal.

 

Sebab, saat ini baik dirinya dan kakanya tinggal bersama mertuanya sehingga dipustukan untuk menitipkan ke Griya Lansia.

 

"Saya pribadi kan enggak punya keluarga. Dari pihak ibu kan juga enggak punya rumah gitu loh. Saya sudah berkeluarga tapi numpang rumah mertua, sedangkan kakak saya juga menikah juga menumpang sama rumah mertua," ucapnya.

 

Saat ini, kata Fitria, keluarganya sepakat untuk merawat Nasikah bersama dan menyewakan kos untuk ibunya itu.

 

"Saya kos kan lagi di Babatan (Surabaya). Nanti seluruh biaya kebutuhan Ibu itu ditanggung sama semua keluarga besar di sini. Kan, keluarga besarnya saya di sini semua. (Dijaga) saudara saya," ujarnya. (jpnn)


Fariz RM (tengah)/Ist 

 

OLEH: YUDI SYAMHUDI SUYUTI


SEBAGAI aktivis kemanusiaan, saya jadi tertarik mengamati sekaligus menganalisis dan mengomentari kasus penggunaan narkoba di Indonesia. Dan ini membuat saya tertarik untuk menguji secara sederhana melalui kasus Fariz RM yang telah ditangkap dan diadili selama 4 kali di pengadilan.

 

Meskipun, sangat banyak kasus menyangkut korban, penyalahgunaan hingga kecanduan narkoba di Indonesia. 

 

Kasus didakwa dan diadilinya Fariz RM sebagai pecandu yang telah 4 kali diadili, sebenarnya sangat sederhana. Di mana dalam Negara Indonesia yang didasari sila ke-2 Pancasila, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, (Hak Asasi Manusia termasuk di dalamnya), maka aturan perundangan yang seharusnya digunakan adalah UU tentang Narkotika.

 

Tentu dengan adanya UU tentang Narkotika sejak tahun 1976 hingga tahun 2009 sebagai aturan yang terakhir, lengkapnya UU 35/2009 tentang Narkotika, maka kasus tentang pengguna penyalahgunaan narkotika hingga pecandu, bukan merupakan tindakan pidana. 

 

Sehingga penerapan penindakan hukum pidana bagi para pengguna penyalahgunaan narkotika hingga pecandu sangat tidak layak dihukum pidana. Berbeda dengan pengedar gelap narkoba yang patut dikenakan hukum pidana dengan ancaman hukuman badan dan perampasan aset.

 

Hal ini juga dinyatakan oleh mantan Kepala BNN, Komjen (Pol), Dr. Anang Iskandar yang juga mantan Kabareskrim Polri, menyatakan bahwa penggunaan proses hukum pidana atas Fariz RM atau para pengguna dan pecandu narkoba sangatlah tidak tepat dan cenderung salah tindakan.

 

Meskipun KUHP mengatur tentang masalah penyalahgunaan narkotika.

 

Menurut kami sendiri, setiap kasus hukum, tentu tidak serta merta harus diatasi melalui penindakan hukum pidana meskipun ada aturan hukum di KUHP. Karena kasus tersebut tentu mesti dipastikan, apakah kasus tersebut merupakan benar-benar suatu kejahatan atau tidak.

 

Dan tentu perlu ada pembanding dalam aturan hukumnya. Karena keadilan adalah bagian atau unsur kemanusiaan dalam kehidupan ini, termasuk kehidupan bernegara.

 

Jika melihat pembanding yang ada di luar KUHP dan pelaksananya yang dijalankan Badan-Badan Peradilan Criminal Justice System, Undang-Undang tentang Narkotika di Indonesia yang merupakan ratifikasi dari hukum internasional, yaitu Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988 dengan perangkat pelaksananya dan fasilitas-fasilitasnya.

 

Di mana perangkat pelaksananya adalah Lembaga BNN (Badan Narkotika Nasional) dan Kementerian Kesehatan yang memiliki fasilitas Pusat Rehabilitasi Anti Narkotika yang pusatnya berada di RSKO (Rumah Sakit Ketergantungan Obat) dan cabangnya 1400-an tempat rehabilitasi di seluruh Indonesia, termasuk Puskesmas.

 

Namun ironisnya tempat-tempat rehabilitasi yang jumlahnya 1400-an kosong, karena tidak ada pasien. Pasiennya di dalam penjara yang proses hukumnya menghabiskan anggaran triliunan mulai dari penyelidikan, penyediaan sarana hingga pemenjaraannya. Negara rugi uang sosial. Lapas menjadi over capacity.

 

Bagi para pengedar gelap, mafia narkoba, tentu Negara wajib memberantas dengan pendekatan pidana yang hukumannya adalah hukuman badan atau pembatasan kebebasannya hingga perampasan aset, sesuai UU tentang Narkoba.

 

Namun bagi pengguna yang terdiri dari korban, pengguna, penyalahguna, dan pecandu, tindakan Negara adalah melalui tindakan medis, yaitu rehabilitasi.

 

Di negara-negara maju, atau negara-negara yang penyelenggara negaranya berpikiran maju dan manusiawi, korban, pengguna narkoba hingga pecandu tidak dihukum pidana. Di Indonesia, UU tentang Narkotika beserta lembaga dan sarana prasarananya telah ada, dan ini harus diterapkan juga di sosialisasi seluas-luasnya.

 

Kembali ke masalah Fariz RM, selayaknya Majelis Hakim memutuskan bahwa kasus Fariz RM dengan mengacu pada UU Narkotika adalah bukan pidana dan penyelesaiannya melalui keputusan rehabilitasi.

 

Masalah ini adalah masalah medis. Sehingga merupakan putusan berdasarkan keadilan, bukan putusan pidana yurisprudensi.

 

Dan jika ahli medis meneliti tingkat kecanduannya tinggi, rehabilitasi itu tidak terbatas waktu. Di Eropa, bagi pecandu yang tingkatnya tinggi, pemerintah justru memberikan obat seumur hidup dengan dosis yang rasional. Karena ada banyak pecandu narkoba yang jika langsung dihentikan malah mati.

 

Di Indonesia, tinggal menyesuaikan kondisinya. Akan tetapi yang patut digarisbawahi, bahwa masalah aturan pengguna atau pecandu narkoba itu adalah merupakan masalah medis. ***


*Koordinator Eksekutif JAKI Kemanusiaan Inisiatif

 

Kondisi kesehatan mantan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) menjadi perhatian publik, dituding alami Sindrom Stevens-Johnson (SJS). (Istimewa) 

 

JAKARTA Mantan Juru Bicara Presiden keempat Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid, Adhie M. Massardi memberikan kritik tajam kepada mantan Presiden Jokowi Widodo.

 

Sorotan ini diberikan setelah hampir seminggu tak muncul di hadapan publik, mantan Presiden Joko Widodo akhirnya muncul kembali.

 

Namun, kemunculannya justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Jokowi disebut-sebut tengah berlibur, tetapi juga disebut tengah menjalani perawatan.

 

Karena itu, Adhie M. Massardi sebut Jokowi penipu. Bachrum Achmadi kritik pengacara Jokowi: Tuduhan Beathor Berat, tapi Tak Dilaporkan?

 

“KANG TIPU always punya momen tuk nipu,” tulisnya dikutip Senin (30/6/2025).

 

“Bahkan Si Kancil dalam kurungan bisa pura2 mati tuk nipu Pak Tani,” tuturnya.

 

Adhie menyindir dengan menyebut Jokowi hanya pura-pura sakit dan membatalkan pembatalan pembacaan surat.

 

“Dia dunia nyata pura2 sakit, tapi gerpol batalkan pembacaan surat. Sukses,” ujarnta.

 

“Lalu pelesiran sama anak-cucu.

"Mau pemulihan," katanya.

Kejarlah daku, kau kutipu…!,” terangnya. (fajar)

 

Prabowo-Gibran  

 

JAKARTA — Dinamika politik yang terjadi dalam pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka disorot oleh Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari.

 

Ia menilai jiwa politikus di Indonesia saat ini masih dikuasai berbagai kepentingan, termasuk tarik-menarik antara Presiden Prabowo Subianto dengan Presiden sebelumnya, Joko Widodo.

 

“Satu hal yang penting adalah butuh keberanian Pak Prabowo untuk memastikan, kalau memang ini bermasalah, ayo silakan dilanjutkan. Jangan saling menyandera,” ujar Feri lewat kanal YouTube Abraham Samad, Senin 30 Juni 2025.

 

Menurut Feri, Presiden Prabowo dan Jokowi dinilai saling menahan langkah politik satu sama lain demi menjaga kepentingan masing-masing. Namun, hal itu justru bisa menghambat proses penegakan konstitusi yang seharusnya berjalan independen.

 

Feri juga menekankan bahwa kegagalan masyarakat sipil maupun forum purnawirawan dalam mendorong pengungkapan kealpaan ketatanegaraan masa lalu, akan menjadi preseden buruk bagi masa depan demokrasi Indonesia.

 

“Kalau hari ini masyarakat gagal mengungkap kealpaan ketatanegaraan besar di masa lalu, maka selamanya kita akan gagal mengungkap kebenaran,” tegasnya.

 

Ia menilai, saat ini adalah waktu yang tepat untuk menempuh langkah pemakzulan, mengingat Wakil Presiden tidak memiliki partai politik. Justru hal itu menurutnya dapat mempermudah proses, karena tidak terikat kepentingan struktural partai.

 

“Jangan-jangan, meskipun tidak punya partai, kekuatan besarnya justru berasal dari luar partai dan itu yang mengendalikan banyak hal,” tambahnya.

 

Feri mendorong para politisi di DPR untuk menunjukkan jati diri sebagai wakil rakyat dengan menindaklanjuti aspirasi masyarakat terkait usulan pemakzulan.

 

Ia menegaskan, jika 25 anggota DPR mengajukan usulan ke paripurna dan disetujui oleh dua pertiga anggota, maka proses bisa bergulir ke Mahkamah Konstitusi (MK).

 

“Di MK itu bukan untuk menyudutkan orang, tapi memperlihatkan bagaimana ketatanegaraan kita berjalan. Setelah sampai ke MK, DPR harus memikirkan siapa kuasa hukumnya dalam menggugat pemberhentian wakil presiden,” pungkas Feri. (rmol)

 

Beathor Suryadi menyebut  Pasar Pramuka sebagai titik awal dugaan pemalsuan dokumen Jokowi—pernyataannya memicu gelombang debat publik. (Tangkapan layar YouTube/@AbrahamSamadSpeakUp)  


JAKARTA — Pegiat media sosial, Bachrum Achmadi, turut angkat bicara soal pernyataan mengejutkan politikus senior PDI Perjuangan, Beathor Suryadi, yang menuding mantan Presiden Jokowi menyimpan uang triliunan rupiah di bawah tanah.

 

Bachrum termehek-mehek, mencerna pernyataan Beathor yang dinilainya sudah sangat serius.

 

"Beathor sebut Jokowi timbun triliunan rupiah di bawah tanah," ujar Bachrum di X @bachrum_achmadi (30/6/2025).

 

Hanya saja, justru tidak ditindaklanjuti secara hukum oleh pihak yang merasa dirugikan.

 

"Ijazah Mulyono dibilang aspal dicetak di Pasar Pramuka, sekarang dibilang Mulyono timbun duit triliunan di bawah tempat tidurnya," ucapnya.

 

Bachrum juga menyindir pengacara yang selama ini mengaku membela nama baik Jokowi termasuk Yakup Hasibuan, yang merupakan kuasa hukumnya.

 

"Masa tuduhan begini si Yakup, pengacara Mulyono, nggak berani laporkan Beathor Suryadi ke polisi!," tandasnya.

 

Sebelumnya, Beathor Suryadi mengatakan bahwa Andi Widjajanto, mantan Gubernur Lemhannas dan tokoh PDIP disebut pernah melihat langsung dokumen ijazah milik Jokowi yang diyakini tidak otentik.

 

Beathor mengatakan, Andi menyaksikan dokumen tersebut saat masa pencalonan Jokowi di Pilpres 2014.

 

Namun, menurutnya, ijazah itu merupakan cetakan ulang yang diproduksi tahun 2012 ketika Jokowi mendaftar sebagai calon Gubernur DKI Jakata.

 

“Andi belum sadar kalau yang ia lihat itu cetakan 2012. Itu digunakan untuk keperluan Pilgub DKI,” ujar Beathor dilansir laman msn dari Seputar Cibubur, Rabu (18/6/2025).

 

Beathor juga menuding proses pencetakan ijazah dilakukan secara diam-diam di kawasan Pasar Pramuka, Jakarta Pusat, oleh tim relawan Jokowi yang berasal dari Solo.

 

Ia menyebut sejumlah nama seperti David, Anggit, dan Widodo, serta kolaborator dari PDIP DKI, termasuk Dani Iskandar dan Indra.

 

“Dokumen itu disusun buru-buru di rumah Jalan Cikini No. 69, Menteng. Semua strategi disiapkan di sana,” katanya.

 

Widodo disebut-sebut sebagai tokoh kunci dalam proses pencetakan, namun menurut Beathor, ia telah menghilang sejak isu buku kontroversial karya Bambang Tri tentang ijazah Jokowi heboh.

 

Yang mengejutkan, kata Beathor, adalah reaksi Andi Widjajanto ketika melihat foto di berbagai ijazah Jokowi yang terlihat identik.

 

“Seharusnya tiap jenjang pendidikan memakai foto berbeda. Ini justru sama semua,” tandasnya. (fajar)

 

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.