Latest Post

Komjen Pol (Purn) Drs. Oegroseno, S.H. berbicara tentang hasil penyelidikan Bareskrim terkait keabsahan ijazah Jokowi. (Sumber: YouTube/Abraham Samad SPEAK UP) 

 

JAKARTA — Keputusan Bareskrim Mabes Polri untuk menghentikan penyidikan kasus dugaan ijazah Joko Widodo menuai kritik tajam dari sejumlah tokoh hukum.

 

Dalam diskusi dengan mantan Ketua KPK Abraham Samad, Komisaris Jenderal Polisi (Purn.) Drs. Oegroseno, S.H., menegaskan penghentian penyidikan tidak memiliki dasar hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

 

“Penghentian penyelidikan ini tidak diatur di hukum acara pidana. Berarti surat edaran yang dijadikan dasar itu tidak punya kedudukan hukum,” tegas Oegroseno, mengacu pada Surat Edaran Kapolri Nomor 7 Tahun 2018.

 

Ia menambahkan bahwa dalam surat edaran tersebut hanya disebutkan istilah penyelidik, tanpa menyebut penyidik, yang justru berwenang secara hukum.

 

Pernyataan ini muncul sebagai tanggapan atas sikap Bareskrim yang menyatakan bahwa ijazah Presiden Jokowi bersifat “identik” dengan milik lulusan UGM lainnya, tanpa memberikan penjelasan rinci terkait mekanisme uji forensik yang dilakukan.

 

“Dia memakai istilah ‘identik’ ya, bukan ‘otentik’,” ujar Abraham Samad. “Harusnya diperlihatkan saat jumpa pers untuk meyakinkan publik.”

 

Oegroseno menambahkan bahwa penghentian penyelidikan semestinya dapat digugat melalui praperadilan agar kepastian hukum dapat terwujud.

 

“Kalau menurut KUHAP, kepastian hukum itu dicapai melalui praperadilan. Penghentian penyidikan pun masih bisa digugat, apalagi penyelidikan yang tidak punya dasar hukum.”

 

Lebih lanjut, Oegroseno menilai bahwa langkah yang ditempuh Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) untuk melaporkan Bareskrim ke Wasidik Mabes Polri dan meminta gelar perkara ulang adalah tepat.

 

Ia menyarankan agar pelapor juga diberi kesempatan menghadirkan saksi ahli sebagai pembanding atas temuan Polri.

 

“Kalau TPUA minta ada saksi ahli sebagai pembanding, itu tidak bisa ditolak. Itu demi asas keadilan,” kata Oegroseno.

 

Ia juga menegaskan bahwa dalam kondisi seperti ini, TPUA bisa membuat laporan baru, termasuk terhadap pengguna ijazah yang diduga palsu, misalnya komisioner KPU di Solo maupun Jakarta.

 

Di sisi lain, Samad menyoroti istilah “identik” yang digunakan Bareskrim, dan menyebutnya menyesatkan publik. “Kalau kita bicara forensik, identik itu belum tentu otentik. Sama seperti tanda tangan palsu yang dibuat mirip, belum tentu asli,” jelasnya.

 

Diskursus ini menggarisbawahi pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses penegakan hukum, khususnya ketika melibatkan pejabat tinggi negara.

 

Penggunaan istilah hukum yang kabur serta keputusan sepihak tanpa dasar KUHAP, menurut Oegroseno, hanya akan memperburuk kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.

 

“Kepastian hukum tidak bisa ditentukan hanya oleh penyelidik, harus ada mekanisme yang sah sesuai undang-undang,” tegas Oegroseno di akhir diskusi. (rmol)


Biografi Prof Sumitro tertulis menjabat dekan pada periode 1983-1986 tetapi tandatangan dekan di ijazah Jokowi adalah Prof Soenardi 


JAKARTA — Pegiat media sosial Lukman Simanjuntak mengungkap dugaan kejanggalan baru dalam ijazah Jokowi yang menurutnya perlu ditelusuri lebih lanjut. Lukman menyoroti perbedaan nama dekan yang tercantum dalam ijazah dan yang tercatat dalam biografi akademik.

 

Ia merujuk pada buku berjudul Ekonomi Sumberdaya Hutan karangan Prof. Sumitro yang di dalamnya tertulis bahwa Prof. Sumitro menjabat sebagai dekan pada tahun 1983 sampai dengan tahun 1986.

 

Namun, kejanggalan muncul saat Lukman mencocokkan data tersebut dengan dokumen ijazah Jokowi yang ditandatangani tahun 1985. Dalam ijazah tersebut, nama dekan yang tercantum bukanlah Prof. Sumitro, melainkan Prof. Soenardi.

 

"Kalau merujuk ke buku Prof. Sumitro, beliau masih menjabat sebagai dekan sampai 1986. Tetapi kenapa ijazah tahun 1985 ditandatangani oleh Prof Soenardi?" tanya Lukman melalui akun pribadinya di X, @hipohan, dikutip Selasa (26/5/2025).

 

Sebelumnya, Dittipidum Bareskrim Polri menyatakan akan menjalin koordinasi dengan Ditreskrimum Polda Metro Jaya terkait laporan yang diajukan oleh mantan Presiden RI Jokowi mengenai tudingan ijazah palsu.

 

Koordinasi ini dilakukan setelah Dittipidum memutuskan untuk menghentikan penyelidikan atas aduan dugaan ijazah Jokowi cacat hukum, yang diajukan oleh Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), karena tidak ditemukan unsur pidana dalam kasus tersebut.

 

“Terkait adanya laporan di Polda Metro Jaya, tentu saja kami sebagai satuan pembina fungsi teknis tentu akan berkoordinasi,” kata Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Pol. Djuhandhani Rahardjo Puro dalam konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis.

 

Ia juga menyampaikan bahwa laporan yang dilayangkan Jokowi di Polda Metro Jaya masih berada dalam tahap penyelidikan, dan menegaskan bahwa Bareskrim tidak akan melakukan intervensi dalam penanganan perkara tersebut. (fajar)


Menteri Agama Nasaruddin Umar/Ist 

 

JAKARTA — Pemerintah melalui Kementerian Agama telah menetapkan tanggal 1 Dzulhijjah 1446 Hijriah jatuh pada hari Rabu, 28 Mei 2025. Dengan demikian, Hari Raya Idul Adha akan dirayakan pada hari Jumat, 6 Juni 2025.

 

Penetapan tersebut disampaikan Menteri Agama Nasaruddin Umar dalam konferensi pers usai sidang isbat penetapan awal bulan Dzulhijjah yang digelar di Jakarta, Selasa, 27 Mei 2025.

 

Keputusan tersebut diambil berdasarkan laporan tim rukyatul hilal yang tersebar di berbagai titik pemantauan di seluruh Indonesia.

 

"Demikian sidang isbat yang dilaksanakan dan disepakati bersama tentunya kita berharap semoga keputusan ini memungkinkan umat Islam di seluruh Indonesia merayakan Iduladha  bersama-sama," kata Menag.

 

Ia menyampaikan terima kasih kepada para pakar lintas profesi dan tim rukyatul hilal yang berkontribusi dalam penetapan ini, terutama tim yang berhasil melihat hilal pada menit-menit terakhir.

 

"Apabila di kemudian hari muncul hal yang berbeda dari kita kami mohon kepada warga masyarakat Indonesia untuk menyelesaikan masalah ini melalui kebersamaan," pungkasnya. (rmol)


Ilustrasi penyerangan/Net 

 

DEPOK — Polres Metro Depok tengah menyelidiki kasus penusukan yang dialami seorang pegawai Kejaksaan Agung (Kejagung) berinisial DSK, 44 tahun.

 

Namun, pihaknya belum bisa mengungkap secara rinci kronologis penusukan terhadap korban yang merupakan anggota Pusat Daskrimti Kejaksaan Agung tersebut.

 

"Masih penyelidikan," ujar Kasat Reskrim Polres Metro Depok, Kompol Bambang Prakoso, dalam keterangannya kepada awak media, Selasa, 27 Mei 2025.

 

Sayangnya, kata Bambang, pihaknya tidak menemukan kamera pengawas atau CCTV di dekat tempat kejadian perkara (TKP).

 

Selain itu, tidak ada saksi yang menyaksikan langsung peristiwa pembacokan di lokasi tersebut. Korban sendiri baru saja selesai diambil keterangan di rumah sakit.

 

"Gak ada (CCTV). Udah disisir. Terdekat (lokasi kejadian) dari tempat cuci mobil sama Indomaret juga gak ngarah ke sana, arah kameranya gak ke lokasi," kata Bambang.

 

Berdasarkan hasil pemeriksaan, Bambang mengatakan, korban DSK mengaku tidak memiliki masalah dengan orang lain.

 

Saat ini penyidik telah melakukan pemeriksaan terhadap tujuh saksi. Namun dalam insiden itu tidak ada barang korban yang hilang.

 

"Gak ada (barang korban tidak ada yang hilang). Motornya juga utuh, gak ada lecet, enggak jatuh," ucap Bambang.

 

Keamanan Jaksa dan Keluarganya Jadi Perhatian

Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar, menyampaikan bahwa pihaknya telah mengantisipasi keamanan bagi jaksa dan pegawai kejaksaan dan keluarganya di tengah meningkatnya intensitas penegakkan hukum.

 

Namun Harli tidak menyebutkan peristiwa pembacokan tersebut ada kaitannya dengan peristiwa hukum yang tengah ditangani kejaksaan atau tidak.

 

"Kita mengantisipasi keamanan bagi Jaksa, pegawai dan keluarganya di tengah meningkatnya intensitas pelaksanaan tugas dan fungsi Kejaksaan dalam penegakan hukum," ucap Harli. (poskota)


Direktur Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri, Brigjen Pol Djuhandhani Rahardjo Puro 

 

JAKARTA — Tekanan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) untuk membuka kembali penyidikan kasus dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo terus meningkat.

 

Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) resmi mengajukan permohonan peninjauan kembali kasus tersebut ke Biro Pengawasan Penyidik ​​(Wasidik) Mabes Polri menyusul rasa tidak puas terhadap putusan Bareskrim yang menyatakan ijazah Jokowi asli dan identik.

 

"Ini langkah yang legal dan sesuai prosedur. Biro Wasidik bertugas mengawasi agar tidak terjadi mal-administrasi dalam proses penyidikan," ujar pengamat politik Hersebeno Arief dalam kanal YouTube Hersubeno Point pada Senin, 26 Mei 2025.

 

Hersebeno Arief menilai langkah hukum lebih baik ketimbang membiarkan olok-olok di publik semakin liar.

 

Sebelumnya, Brigadir Jenderal Johandani Rahardjo menyatakan hasil penyelidikan menunjukkan ijazah Jokowi adalah asli dan identik dengan milik rekan-rekan seangkatannya di Universitas Gadjah Mada (UGM). Namun, pernyataan tersebut justru memicu gelombang skeptisisme.

 

"Alih-alih menenangkan publik, justru banyak yang mempertanyakan maksud dari ‘identik’. Kalau pembandingnya juga palsu, bukankah itu berarti sama-sama tidak otentik?" sindir Hersebeno.

 

Ia menambahkan, meme-meme bernada satir seperti "Juara 1 Lomba Ijazah Identik" dan "Lulusan Terbaik Universitas Bareskrim Fakultas Forensik" menjadi indikator kuat adanya krisis kepercayaan publik.

 

Kritik keras juga diarahkan kepada keputusan Polri yang menolak adanya uji pembanding oleh pihak independen. "Kalau yakin ijazah itu asli, seharusnya tidak takut di-challenge secara ilmiah," ujar Hersebeno.

 

Ia juga menyoroti risiko public distrust yang semakin dalam terhadap institusi negara, termasuk Polri dan UGM.

 

"Kalau terus begini, masyarakat bisa kehilangan kepercayaan pada sistem. Padahal kepercayaan itu adalah modal utama demokrasi dan penegakan hukum," katanya.

 

Dugaan keganjilan lain juga mencuat, termasuk perbedaan tanda tangan dalam dokumen SPP Jokowi saat kuliah. Meski Hersebeno mengakui bahwa tanda tangan bisa berubah, ia menekankan pentingnya pemeriksaan oleh ahli.

 

“Kalau alatnya canggih tapi orang yang menjalankannya tidak kredibel, itu percuma,” katanya, mengkritisi potensi manipulasi jika tidak ada pengawasan independen. (poskota)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.