SANCAnews – Advokat Viktor Santoso Tandiasa menggugat
Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Penggugat menilai Jokowi lalai karena belum menerbitkan
seluruh peraturan pelaksana UU Cipta Kerja. Salah satunya terkait peraturan
turunan UU Administrasi Pemerintahan.
"Kami resmi mendaftarkan gugatan perbuatan melanggar
hukum (Onrechtmatige Overheidsdaad) yang dilakukan Presiden atas tindakan tidak
diterbitkannya Peraturan Presiden tentang fiktif positif sebagaimana diatur
dalam Pasal 175 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 53 UU Administrasi
Pemerintahan yang mengakibatkan kekosongan hukum untuk menempuh upaya fiktif
positif ke PTUN dengan Nomor Perkara 123/G/TF/2021/PTUN.JKT," kata kuasa
hukum pemohon, Eliadi Hulu, kepada wartawan, Selasa (11/5/2021).
Penggugat memiliki sejumlah argumen, salah satunya ialah
terjadi perubahan dalam UU Administrasi Pemerintahan terutama dalam ketentuan
yang mengatur tentang Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan setelah UU Cipta
Kerja berlaku. Sebelum ada UU Cipta Kerja, upaya fiktif positif dilakukan
melalui mekanisme di PTUN. Namun dalam Pasal 175 UU Cipta Kerja, upaya fiktif
positif melalui mekanisme PTUN dihapus.
"Sehingga sejak UU Cipta Kerja diundangkan, PTUN tidak
lagi berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan fiktif
positif," ujar Eliadi.
Contoh kasus dalam Putusan PTUN Nomor 24/P/FP/2021/PTUN.PL
yang menyatakan Pengadilan Tata Usaha Negara tidak diberikan kewenangan lagi
untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan mengenai permohonan kepada Badan
dan/atau Pejabat Pemerintah untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan
dan/atau Tindakan mengacu pada ketentuan Pasal 175 UU Cipta Kerja yang telah
mengubah Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan.
"Persoalannya, sejak UU Cipta Kerja diundangkan, hingga
saat ini, Presiden Republik Indonesia belum menerbitkan Peraturan Presiden yang
mengatur tentang ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan keputusan
dan/atau tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum berdasarkan amanat
Pasal 53 ayat (5) UU Administrasi Pemerintahan sebagaimana termuat dalam Pasal
175 UU Cipta Kerja," beber Eliadi.
"Sehingga, saat ini terjadi kekosongan hukum (aturan)
dalam melaksanakan Perubahan Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan dalam Pasal
175 UU Cipta Kerja," sambung Eliadi.
Padahal dalam UU Cipta Kerja, terdapat tenggat waktu paling
lama 3 bulan bagi Pemerintah cq Presiden wajib untuk menetapkan peraturan
pelaksana. Hal itu diatur dalam Pasal 185 huruf a UU Cipta Kerja.
"Artinya 3 bulan sejak UU Cipta Kerja disahkan dan
diundangkan (tanggal 2 November 2020), maka paling lama (tanggal 2 Februari
2021) seluruh peraturan pelaksana UU Cipta Kerja sudah harus diterbitkan.
Termasuk Peraturan Presiden tentang fiktif positif sebagai tindak lanjut dari
perubahan Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan sebagaimana termuat dalam Pasal
175 UU Cipta Kerja," kata Eliadi.
Akibat belum diaturnya mekanisme fiktif positif di atas, penggugat menyatakan secara khusus dan seluruh advokat ataupun masyarakat mengalami kerugian gara-gara terdapat kekosongan hukum. Oleh karenanya, maka dapat dikatakan telah melakukan tindakan faktual berupa sikap diam/tidak melakukan perbuatan konkret dalam bentuk tidak mengeluarkan keputusan 'besluiten' (dibaca: Peraturan Presiden), "Sedangkan hal itu menjadi kewajibannya," cetus Eliadi. (dtk)