SANCAnews – Amnesty International Indonesia (AII) meminta
Presiden Joko Widodo (Jokowi) membebaskan seluruh korban kriminalisasi
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Keputusan tersebut
menjadi langkah konkrit Jokowi yang ingin merevisi UU ITE.
"Langkah pertama yang harus dilakukan presiden untuk
menindaklanjuti pernyataannya sendiri adalah dengan membebaskan mereka yang
dikriminalisasi dengan UU ITE hanya karena mengekspresikan pandangannya secara
damai," kata Direktur Eksekutif AII,Usman Hamid dalam keterangan resminya,
Rabu (17/2).
Usman berharap revisi UU ITE tidak hanya sekadar jargon.
Berdasarkan catatan AII, sepanjang 2020 terdapat 119 kasus dugaan pelanggaran
hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE, dengan total 141
tersangka.
Dari jumlah itu, 18 orang merupakan aktivis dan jurnalis. Jumlah
kasus tersebut merupakan yang terbanyak dalam enam tahun terakhir.
"Banyak di antaranya dituduh melanggar UU ITE setelah
menyatakan kritik terhadap kebijakan pemerintah, seperti tiga pimpinan KAMI
Jumhur Hidayat, Anton Permana dan Syahganda Nainggolan," ujarnya.
Usman mengingatkan hak masyarakat atas kebebasan berekspresi
dan berpendapat telah dijamin dalam Pasal 19 Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Komentar Umum Nomor 34 atas Pasal 19
ICCPR.
Sedangkan dalam hukum nasional, hak tersebut telah dijamin
oleh Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F UUD 1945, serta Pasal 23 ayat 2
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka peluang
untuk merevisi UU ITE. Menurut Jokowi, pasal-pasal karet yang multitafsir dalam
UU ITE bisa dihapus.
Mantan wali kota Solo itu mengaku akan meminta DPR untuk
bersama-sama merevisi UU ITE.
"Kalau implementasinya menimbulkan rasa ketidakadilan,
maka UU ini perlu direvisi. Hapus pasal-pasal karet yang multitafsir, yang
mudah diinterpretasikan secara sepihak," kata Jokowi. []