SancaNews.Com - Perusahaan Listrik Negara diminta
melakukan penyelidikan internal setelah Departemen Kehakiman Amerika Serikat
(AS) menuntut dua orang WNI diduga terlibat dugaan suap guna memenangkan tender
proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Tarahan, Lampung, pada 2003
silam.
Temuan Departemen Kehakiman AS juga mengungkap dugaan
keterlibatan pimpinan PLN dan anggota DPR saat itu dalam kasus tersebut,
sehingga PLN diminta pula untuk menyelidiki temuan tersebut.
Hal tersebut disampaikan oleh Danang Widoyoko, sekretaris
jenderal lembaga antikorupsi Transparansi Internasional Indonesia, Rabu
(20/02).
Menurutnya, satuan pengawas internal dalam tubuh PLN harus
segera bertindak guna menjaga nama baik PLN di tingkat global.
"Mestinya satuan pengawas internalnya harus segera
bertindak, meskipun kasus lama, tapi ini mencoret nama PLN di [tingkat] global.
"Kejadiannya terbongkarnya di Amerika dan ini membuat
citra PLN jadi buruk. Menurut saya ini harus direspon PLN dengan segera
melakukan pemeriksaan internal, mengecek siapa saja waktu itu yang terlibat.
Jika masih ada dan belum pensiun, [pelakunya] harus segera [diselidiki]
juga," ujar Danang kepada BBC News Indonesia.
Dia menambahkan, "Yang saya kira penting bagi PLN adalah
memastikan apakah pada kasus itu peluang-peluang [penyuapan] masih terbuka
hingga sekarang ini, untuk mencegah kasus serupa tidak terjadi lagi."
Apa tanggapan PLN?
Dwi Suryo Abdullah, wakil presiden relasi publik PLN
mengatakan bahwa pihaknya masih harus mempelajari tuntutan tersebut sebelum
berkomentar.
Ketika ditanya apakah PLN akan melakukan penyidikan internal,
ia mengatakan bahwa jika suatu kasus korupsi sudah diselidiki oleh penegak
hukum, maka PLN tidak akan menyelidiki secara internal.
"Case-nya Pak Sofyan [Basir] apa memang [penyidikan]
internal dilakukan? Tidak juga. Karena itu sudah ditangani KPK jadi ya sudah di
KPK tanyanya," katanya kepada BBC (19/02), merujuk pada mantan direktur
utama PLN Sofyan Basir yang November lalu divonis bebas setelah disangka
terlibat kasus dugaan suap berkaitan dengan proses kesepakatan proyek
Independent Power Producer Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1.
Sementara itu, kepada BBC News Indonesia, pelaksana tugas
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ali Fikri mengatakan bahwa ia
masih harus mempelajari dan meneliti dakwaan terhadap dua WNI tersebut sebelum
berkomentar lebih lanjut.
Seperti apa tuntutan
Departemen Kehakiman AS?
Departemen Kehakiman Amerika Serikat pada Selasa (18/02)
mengumumkan telah mengenakan tuntutan kepada dua mantan petinggi anak
perusahaan Alstom S.A., perusahaan energi dan transportasi asal Prancis, di
Indonesia, Reza Moenaf dan Eko Sulianto, atas konspirasi pelanggaran
Undang-Undang Praktek Korupsi di Negara Asing milik AS, atau dikenal dengan
nama FCPA, dan pencucian uang.
Selain itu, penegak hukum AS juga menuntut Junji Kusunoki,
mantan wakil manajer umum Departemen Proyek Energi Luar Negeri untuk Marubeni
Corporation, konglomerasi dagang dan investasi asal Jepang, dengan pasal-pasal
yang sama.
Reza, Eko, dan Junji, dan beberapa orang lainnya, diduga
menyuap sejumlah pejabat di Indonesia, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan pimpinan PLN, pada 2003, ungkap Departemen Kehakiman AS.
Dugaan suap itu, lanjutnya, guna memenangi tender pembangunan
proyek PLTU Tarahan yang bernilai 118 juta dollar AS, seperti dikutip dari
pernyataan resmi Departemen Kehakiman AS.
Disebutkan, untuk menyembunyikan pembayaran tersebut,
ketiganya diduga mempekerjakan dua konsultan untuk membayarkan suap ke sejumlah
pejabat di Indonesia, meski di atas kertas perusahaan konsultan tersebut
memiliki tugas untuk memberikan jasa konsultasi terkait proyek Tarahan.
Dalam pernyataannya, Departemen Kehakiman AS menjabarkan
sebuah surat elektronik antara Reza, Eko, dan pelaku suap lainnya pada tahun
2003 yang mengatakan bahwa pejabat PLN saat itu khawatir apakah uang yang
diterimanya kecil, sepantaran "uang saku", atau akan cukup besar,
mengingat nilai proyek Tarahan yang akan dinikmati oleh konsorsium Alstom jika
mereka menang tender.
Pada akhirnya konsorsium tersebut menang tender proyek
pembangunan PLTU Tarahan pada Mei 2004 dan membayarkan sejumlah uang kepada
perusahaan konsultasi, yang diduga diteruskan ke pejabat-pejabat di Indonesia,
kata Departemen Kehakiman AS.
Siapa pejabat PLN yang
diduga terlibat?
Pengamat energi, Fabby Tumiwa, yang juga Direktur Eksekutif
Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan kasus yang
melibatkan mantan petinggi Alstom Indonesia tersebut adalah kasus lama yang
penerima suapnya, mantan anggota DPR Emir Moeis, telah divonis tiga tahun
penjara pada 2014.
Meski demikian, nama petinggi PLN tersebut hingga kini belum
terungkap. "Sudah ada sidang di 2014 yang memberikan keputusan [dalam]
sidangnya itu terbukti Alstom memberikan suap kepada anggota DPR dan [petinggi]
PLN, sampai sekarang [nama petinggi] PLN tidak diungkap. Di Indonesia, Emir
Moeis yang ditangkap KPK berkaitan dengan kasus itu," kata Fabby.
Apa peran eks anggota
DPR Emir Moeis dalam kasus ini?
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada
2014 memutuskan bahwa Emir, bekas ketua Komisi IX DPR, terbukti menerima
357.000 dollar AS dari PT Alstom Power Incorporated Amerika Serikat dan
Marubeni Incorporate Jepang melalui perusahaan konsultasi Pacific Resources.
Perusahaan energi raksasa Alstom dan Marubeni juga mengaku
bersalah melanggar FCPA. Alstom pun telah dikenakan denda sebesar 700 juta
dollar AS oleh Departemen Kehakiman AS, sementara itu Marubeni dikenai denda
sebesar 88 juta dollar AS.
Menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW), terdapat 21
kasus dugaan korupsi, suap, penggelembungan tarif, dan sejenisnya yang
melibatkan PLN yang terungkap dari tahun 2015-2019.
Hal ini lantaran PLN merupakan penyedia jasa listrik utama di
Indonesia dengan capital expenditure atau capex yang mencapai 100 triliun
rupiah untuk menyediakan perangkat pembangkit dan jaringan listrik.
"Setiap tahun itu PLN membangun [pembangkit listrik]
3000-5000 megawatt. Baik dibangun sendiri maupun oleh swasta. Anda bisa
bayangkan, PLN dengan nilai capex mencapai kira-kira 80-100 triliun rupiah
untuk perangkat pembangkit listrik dan jaringan listrik... Kita bisa bayangkan,
dengan nilai yang sebesar itu, banyak sekali orang yang ingin mendapatkan kue
itu," ujar Fabby.
"Jadi dengan kebutuhan atau pengeluaran yang sedemikian
besar, proyek-proyek PLN menjadi incaran banyak pihak, baik secara positif atau
negatif, sampai melakukan tindakan penyuapan dan lain sebagainya. Kalau kita
lihat di jaman dulu ini membuka banyak kesempatan karena tata kelola pengawasan
lemah," tambahnya.
Perbaikan dalam tubuh
PLN
Meski demikian, Fabby menilai bahwa PLN telah menyadari
keburukan praktiknya di masa lalu dan tengah berusaha memperbaiki diri.
Menteri Badan Usaha dan Milik Negara (BUMN) Erick Thohir
telah menunjuk Amien Sunaryadi sebagai Komisaris Utama PLN mendampingi Direktur
Utama Zulkifli Zaini.
Amien dikenal memiliki rekam jejak yang baik sebagai Wakil
ketua KPK periode 2003-2007, di mana ia dikenal sebagai seseorang yang
progresif dan berpengalaman melakukan pemberantasan korupsi yang menyangkut
nama-nama penting, kata Fabby.
"Dari PLN dalam 10 tahun terakhir ada perbaikan, dan
dengan direksi yang baru juga mereka coba koreksi dan komisarisnya juga
berkomitmen," ujar Fabby.
Sementara itu, Danang Widoyoko dari Transparansi
International Indonesia mengatakan bahwa PLN masih harus meningkatkan standar
operasinya guna memenuhi prinsip-prinsip dan standar anti korupsi global.
"PLN sudah berusaha tapi ada pasang surutnya dan faktor
eksternalnya tidak mudah dihadapi oleh PLN sendiri. Kita tidak tahu apakah di
pembangkit-pembangkit listrik PLN yang lain standarnya sama juga, apalagi
pemerintahan Joko Widodo kini menggencot [pembangkit listrik] 35.000
megawatt," kata Danang.
"Akhirnya ketika ditargetkan itu, percepatan itu menjadi
prioritas bukan pemenuhan standar-standar good governance -nya, kepastian tidak
ada korupsinya, jadi semua jalan dulu. Jadi saya kira ini resiko pemberantasan
korupsinya masih akan tinggi ke depan karena pemerintah fokus pada pencapaian
target-target bukan standar-standar pemberantasan korupsi global,"
tambahnya.
Indeks kemudahan
berbisnis
Lebih lanjut, pengamat energi Fabby Tumiwa dari IESR
mengatakan bahwa dakwaan baru terkait proyek PLTU Tarahan tersebut tidak akan
mempengaruhi indeks kemudahan berbisnis Indonesia dan investasi asing.
Indonesia sendiri mencatatkan perbaikan Indeks Persepsi
Korupsi tahun ini menjadi 40, atau berada di peringkat 85 dari 180 negara,
katanya.
"Saya kira kalau kasus Tarahan diumumkan sekarang itu
tidak terlalu banyak berpengaruh. Tapi kita lihat salah satu indikator yang
diperhatikan investor adalah iklim investasi dan itu bagian dari kemudahan
berbisnis.
"Investor juga melihat apakah korupsi, penyuapan itu
[marak] atau tidak, karena kalau mereka ingin mengurus ijin tapi harus bayar
suap, uang pelicin, itu tentu mereka tidak mau karena itu extra cost,"
kata Fabby.
Selain itu, Danang dari Transparansi Internasional Indonesia
mengatakan bahwa sebagian besar investor asing di Indonesia saat ini nampaknya
lebih mementingkan kemudahan berinvestasi ketimbang praktik-praktik berbisnis
yang baik.
"Di Indonesia investasi dari Amerika Serikat dan Eropa
kan berkurang, yang dikejar ini kan investasi dari China dan Timur Tengah, yang
relatif standarnya di bawah AS dan Eropa kalau soal prinsip anti korupsi,"
kata Danang.
"Nah ini yang kemudian masih terlalu dini menilai apakah
ini berdampak pada investasi, karena bagi investor dari China dan Timur Tengah
tidak terlalu penting soal good governance, tapi bagaimana pemerintah
memudahkan investasi masuk."
Sumber : bbc.com