Articles by "Opini"

Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Ilustrasi/Ist 

 

PERANG adalah perdamaian, merupakan sebuah paradoks yang terkenal dari novel 1984 karya George Orwell. Slogan ini menggambarkan bagaimana rezim totaliter seperti Oceania menggunakan perang sebagai alat untuk mengendalikan rakyatnya.

 

Dengan terus-menerus berada dalam keadaan perang, pemerintah dapat membenarkan penindasan, pembatasan kebebasan, dan manipulasi informasi, yang pada akhirnya menciptakan bentuk "perdamaian" yang dipaksakan.

 

Dunia dan Perang Dagang

 

Tanggal 02 April 2025,  disebut sebagai Hari Pembebasan bagi Amerika, bagi dunia global adalah Perang Dagang. Dunia telah menipu Amerika Serikat selama 40 tahun terakhir dan lebih," kata Trump. "Yang kami lakukan hanyalah bersikap adil". Amerika Serikat melihat Tiongkok sebagai pesaing utama dalam bidang ekonomi. 

 

Impor barang AS dari Tiongkok pada tahun 2024 mencapai total 438,9 miliar Dolar AS, naik 2,8 persen (12,1 miliar Dolar AS) dibandingkan tahun 2023. Defisit perdagangan barang AS dengan Tiongkok mencapai 295,4 miliar Dolar AS pada tahun 2024, meningkat 5,8 persen (16,3 miliar Dolar AS) dibandingkan tahun 2023.

 

Selama lebih dari 70 tahun, Tiongkok membangun kemajuan melalui kemandirian dan kerja keras, bukan karena belas kasihan negara lain. "Kami tidak takut terhadap tekanan yang tidak adil," ujar Xi seperti dikutip dari Global Times.

 

Presiden Tiongkok Xi Jinping telah memperingatkan bahwa perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok tidak akan menghasilkan "pemenang". Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, yang dimulai pada tahun 2018, telah menjadi salah satu konflik ekonomi utama di dunia. Konflik ini ditandai dengan penerapan tarif timbal balik pada barang-barang impor kedua negara.

 

Meskipun sempat mereda dengan adanya kesepakatan "Phase One" pada 2020, ketegangan tetap berlanjut dan bahkan meningkat di tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 2025, perang dagang ini kembali memanas setelah adanya pergantian kepemimpinan di AS.

 

Perang dagang tentu saja bukan hal yang baru dalam dunia perekonomian negara. Dalam sejarahnya, Amerika Serikat bahkan sudah beberapa kali melakukan perang dagang dengan berbagai negara ataupun kawasan regional ekonomi seperti Uni Eropa. AS bukanlah satu-satunya negara yang pernah menyulut perang dagang dan mempengaruhi ekonomi global. Belanda, Inggris, termasuk Dinasti Qing, Tiongkok pernah mencatatkan perang dagang paling berpengaruh dalam sejarah.

 

Perang Inggris dan Belanda terdiri dari empat pertempuran yang terjadi pada kurun waktu abad 17 sampai 18. Meski berakhir menjadi pertempuran senjata, Perang Inggris-Belanda sebenarnya bermula dari persaingan dagang antar kedua negara.

 

Memasuki tahun 1600an, para pedagang Belanda mulai mendominasi jalur perdagangan dunia. Untuk merespon kekuatan dagang Belanda, Inggris mengeluarkan Navigation Act di tahun 1651 yang berisi sekumpulan aturan dagang bagi para koloninya. Dikutip dari Britannica, inti dari Navigation Act adalah pelarangan bagi wilayah koloni Inggris untuk mengekspor barang ke negara lain selain Inggris. Selain itu, kapal dagang yang bukan berasal dari Inggris dilarang untuk melakukan perdagangan dengan Inggris maupun koloninya.

 

Situasi tersebut membuat para pedagang Belanda tidak bisa berdagang di kawasan yang dikuasai Inggris. Dimulai dari tahun 1652, empat kali perang senjata di perairan pun tak terhindarkan. Walaupun Belanda memenangkan perang pertama, Inggris tetap menguasai keseluruhan perang karena kemajuannya di bidang militer angkatan laut. Kekalahan Belanda di perang keempat pada 1784 menjadi salah satu penyebab dari kebangkrutan.

 

Perang Opium merupakan perang dagang yang berlangsung dalam dua babak yaitu Perang Opium I (1839-1842) dan Perang Opium II (1856-1860). Kedua perang tersebut melibatkan Inggris dan Dinasti Qing, Tiongkok. Memasuki abad 18, para pedagang Inggris mulai memasuki wilayah Asia untuk memperluas jalur perdagangan. Dari sisi komoditas perdagangan, Tiongkok lebih unggul dibandingkan Inggris karena mereka merupakan penghasil porselen, kain sutera dan teh. Ketiga barang tersebut memiliki nilai jual tinggi di kalangan masyarakat Eropa.

 

Sementara itu, Tiongkok tidak terlalu banyak mengimpor barang hasil manufaktur dari Inggris. Akan tetapi, Tiingkok tetap membuka pintu kerjasama dagang dengan syarat Inggris membayar barang dagangannya dengan logam perak. Inggris tidak memiliki cadangan perak alami sehingga mereka harus membelinya dari negara lain. Dikutip dari Thoughtco, neraca perdagangan Inggris mengalami defisit karena hanya mampu menjual 9 juta Poundsterling dibandingkan dengan Tiingkok yang meraup 27 juta Poundsterling.

 

Di tengah situasi yang tak menguntungkan, Inggris menemukan cara baru yaitu dengan menawarkan opium sebagai alat pembayaran alternatif. Opium tersebut berasal dari Bengal yang saat itu sudah dikuasai oleh Inggris. Perlahan, kasus kecanduan opium mulai menjadi masalah di kalangan pemuda Tiongkok,  Kaisar Daoguang mulai mengambil langkah untuk menghentikan penyelundupan opium dan melarang pedagang asing manapun yang tidak bersedia mengikuti peraturan pemerintah Tiongkok.

 

Peperangan pun akhirnya terjadi pada 1839 hingga 1842 dan berbuah kemenangan telak bagi Inggris. Perjanjian Nanking di tahun 1842 menjadi akhir dari Perang Opium I dan membuat kerugian besar bagi Dinasti Qing. Selain membayar kerugian perang, Dinasti Qing juga harus menggadaikan wilayah Hong Kong kepada Inggris.

 

Pada 17 Juni 1930, Herbert Hoover selaku Presiden Amerika Serikat, menandatangani undang-undang United States Tariff Act of 1930 atau yang lebih dikenal sebagai Smoot-Hawley Tariff Act. Penamaan Smoot-Hawley berasal dari dua nama senator yang mengusulkan undang-undang tersebut yaitu Reed Smoot dan Willis Hawley.

 

Pasca kemenangan Amerika Serikat di Perang Dunia II, industri peternakan ayam mulai mengalami peningkatan jumlah produksi. Karena tingginya angka produksi ayam, pada tahun 1960 Amerika Serikat lalu mengekspor pasokan ayam ke Eropa. Kondisi Eropa saat itu masih dalam tahap recovery pasca Perang Dunia II dan banyak peternak lokal yang merasa khawatir dengan banyaknya jumlah ayam impor dari Amerika Serikat. Merespon hal tersebut, beberapa negara Eropa seperti Prancis dan Jerman pun menerapkan tarif dan pengaturan harga untuk produk unggas impor asal Amerika Serikat.

 

Memasuki tahun 1962, Amerika Serikat memprotes kebijakan Eropa terkait pengaturan tarif dan harga yang membuat angka penjualan ayam turun hingga 25 persen. Beberapa kali perwakilan Amerika Serikat dan Eropa mengadakan pertemuan tetapi tak pernah mencapai kesepakatan terkait perdagangan ayam.

 

Merasa buntu dengan kesepakatan yang tak pernah tercapai, Amerika Serikat lantas mengesahkan peraturan dagang baru pada 7 Januari 1964. Barang-barang seperti brandy, light trucks, dextrin dan tepung kentang, dikenakan tarif impor sebesar 25 persen.

 

Keputusan untuk menaikkan tarif impor untuk produk light trucks dipicu oleh tingginya impor mobil Volkswagen asal Jerman di tahun 1960an. Hal ini lantas menuai protes dari para pemilik industri otomotif di Amerika Serikat. Saat ini hanya tersisa kebijakan tarif impor 25 persen untuk produk light truck. Atas alasan inilah light truck produksi Amerika Serikat sangat mendominasi pasar lokal selama lebih dari empat dekade, dikutip dari Thoughtco.

 

Selain kenaikan tarif, penerapan kuota impor juga biasa dilakukan dalam rangka membatasi masuknya barang impor dari negara lain. Sejarah membuktikan besarnya dampak dari perang dagang terhadap perekonomian suatu negara maupun secara global.

 

Kisah Pengawas Pajak dan Perang Tarif

 

Samuel Wilson (13 September 1766 ?" 31 Juli 1854) adalah seorang pengepak daging dari Troy, New York. Namanya konon merupakan sumber personifikasi Amerika Serikat yang dikenal sebagai "Paman Sam". Uncle Sam atau Paman Sam dikenal sebagai simbol patriotisme Amerika Serikat dan menjadi julukan.

 

Paman Sam, dalam bahasa gaul adalah personifikasi pemerintah federal Amerika Serikat, yang berasal dari abad ke-19. Ia biasanya digambarkan sebagai seorang pria tua yang mengenakan topi tinggi berhias bintang dan dasi kupu-kupu merah. Paman Sam sering digunakan sehari-hari untuk IRS (Badan Pengawas Pajak) yang memungut pajak penghasilan dari warga negara dan perusahaan Amerika.

 

Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte memanggil Presiden Donald Trump ‘Daddy’ atau ‘Ayah’ pada Rabu 25 Juni 2025. Rutter menanggapi penggunaan kata-kata umpatan oleh presiden baru-baru ini ketika ia menuduh Iran dan Israel melanggar perjanjian gencatan senjata.

 

Selama pertemuan bilateral antara Trump dan Rutte selama KTT NATO di Den Haag, Belanda, Trump menyamakan negara Israel dan Iran dengan "dua anak di halaman sekolah" yang terlibat "pertengkaran hebat." Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, baru-baru ini mengajukan nominasi Donald Trump untuk Hadiah Nobel Perdamaian. Netanyahu menyatakan bahwa Trump berperan penting dalam menciptakan perdamaian di berbagai kawasan, termasuk upaya penyelesaian ketegangan nuklir Korea Utara dan perundingan damai antara Kosovo dan Serbia.

 

Nominasi ini bukan kali pertama Trump diajukan untuk penghargaan bergengsi tersebut. Sejumlah anggota parlemen dari negara-negara seperti Norwegia, Swedia, dan Estonia sebelumnya juga telah mengajukan nama Trump karena kontribusinya dalam mempromosikan perdamaian.

 

Beberapa alasan yang mendasari nominasi Trump adalah: (1) Perjanjian Abraham: Upaya Trump dalam menormalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab. (2) Penyelesaian Ketegangan Nuklir Korea Utara: Perundingan yang dilakukan Trump untuk mengurangi ketegangan nuklir di Korea Utara. Dan (3) Perundingan Damai Kosovo dan Serbia: Peran Trump dalam memfasilitasi perundingan damai antara Kosovo dan Serbia.

 

Trump sendiri telah beberapa kali mengungkapkan kekecewaannya karena belum menerima Nobel Perdamaian, meskipun ia telah berperan dalam beberapa konflik, seperti konflik India-Pakistan dan Serbia-Kosovo.

 

Baru-baru ini, Trump juga menawarkan keahlian negosiasinya untuk mengakhiri perang di Ukraina dan Gaza. Presiden AS Donald Trump memberikan ancaman serius kepada Rusia bila tak segera menyetop perang di Ukraina. Ancaman tersebut berupa tarif 100 persen.

 

Ancaman itu, seperti dilansir kantor berita Anadolu Agency, Selasa, 15 Juli 2025, dilontarkan Trump saat bertemu dengan Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte di Ruang Oval Gedung Putih pada Senin, 14 Juli 2025 waktu setempat. Saat berbicara kepada wartawan dengan didampingi Rutte, Trump mengatakan dirinya "sangat, sangat tidak puas" dengan Rusia dan merasa kecewa dengan Presiden Vladimir Putin.

 

Amerika Terguncang

 

Hans Morgenthau, Amerika punya "tujuan transeden" membangun perdamaian dan kebebasan dinegeri sendiri juga tentu disetiap tempat karena  "gelanggang tempat Amerika harus mempertahankan dan menpromosikan tujuan itu meliputi seluruh dunia." Namun bahwa tujuan sejarah sama sekali tidak konsisten dengaan "tujuan transeden".

 

Amerika Serikat "hanyalah salah satu negara besar di antara negara lainnya yang tidak sempurna." Mari menyimak, Foreign Affair, terbitan Nov / Des 2011 "IS AMERICA OVER?." Peringatan lebih dari satu dasawarsa, membuat kekuasaan kini bergeser ke Timur. Tidak lagi ke Barat. Cahaya Asia bersinar melihat kemajuan besar ekonomi Tiongkok dan India. Amerika kini tergoncang. Memang langit tidak akan runtuh. Diatas langit ada langit. ***

 

*Penulis adalah eksponen Gema 77/78

 

 

 

 

Tom Lembong divonis 4,5 tahun penjara, Ferry Irwandi ungkap kejanggalannya. (Sumber: Instagram)

Pakar Telematika Roy Suryo bersama Tim Pembela Ulama dan Aktivis seusai mengikuti gelar perkara khusus dugaan ijazah palsu Joko Widodo di Bareskrim Mabes Polri. (Foto: Sindo/Arif Julianto) 

 

OLEH: FIRMAN TENDRY MASENGI

 

RABU, 9 Juli 2025, Gelar Perkara Khusus terkait dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo resmi digelar. Tapi alih-alih menghadirkan transparansi, negara justru memperagakan kebungkaman terstruktur. Tanpa dokumen asli, tanpa pengujian terbuka, tanpa pihak independen -publik hanya disuguhi kesimpulan sementara internal yang menggantung di udara. Ini bukan proses hukum. Ini penyesatan yang dilembagakan.

 

Dalam perkara pidana, hukum tidak memberikan ruang untuk pembuktian yang kabur. In criminalibus probationes debent esse luce clariores -dalam pidana, bukti harus lebih terang dari cahaya. Namun dalam perkara ini, bukti malah diselubungi oleh prosedur dan diam administratif. Negara meminta rakyat percaya, tanpa membuka apa yang seharusnya bisa diuji: dokumen asli ijazah.

 

Bila yang dipakai sebagai dasar hanya fotokopi, pernyataan lembaga, atau dokumen digital, maka dalil tegas berlaku: Probatio ficta, probatio nulla est -pembuktian fiktif adalah pembuktian yang batal demi hukum.

 

Jika negara gagal menunjukkan bukti otentik, maka seluruh klaim tentang keaslian ijazah kehilangan nilai legitimasi. Ini bukan hanya cacat administratif.

 

Ini adalah luka dalam pada sistem kenegaraan yang seharusnya bertumpu pada transparansi dan kepercayaan publik.

 

Gelar perkara tanpa bukti adalah ironi. Ia disebut “khusus”, tapi yang ditampilkan justru penghindaran terhadap pertanyaan paling mendasar: Mana bukti aslinya? Siapa yang memverifikasinya? Mengapa tidak diuji terbuka?

 

Ketika sistem penyidikan tidak mampu lagi menjawab pertanyaan dasar, maka konstitusi memberi ruang bagi mekanisme yang lebih tinggi: Hak Subpoena DPR RI. DPR, sebagai lembaga representatif, memiliki kewenangan memanggil pihak-pihak terkait secara paksa dan menuntut dokumen otentik, termasuk menguji ijazah asli yang menjadi sumber polemik. Jika negara eksekutif menutup ruang terang, maka legislatif wajib membuka paksa jendela hukum.

 

Apakah kita akan terus membiarkan republik ini berdiri di atas dokumen yang tidak bisa dibuktikan? Apakah kekuasaan publik masih bisa dianggap sah jika prasyarat pencalonan presiden pun tidak dapat diverifikasi secara ilmiah?

 

Kebenaran bukan milik negara. Ia milik publik. Dan jika negara menolak membuktikannya, rakyat berhak memaksanya. **

                                                                                                                            

*Advokat, aktivis Prodem.

 

Ilustrasi filsafat hukum (Foto pixabay.com). 


OLEH: FIRMAN TENDRY MASENGI* 

SENIN dan hari Rabu besok, sebuah babak lanjutan dalam praktek hukum Indonesia menyangkut dugaan ijazah palsu Jokowi akan di besut. Kegiatan itu bernama Gelar Perkara Khusus.

 

Pada tulisan sebelumnya dengan Tema yang sama seorang advokat yang kerap mengkritisi kinerja kepolisian, merespon tulisan saya yang kurang tajam. Rekan advokat tersebut adalah Sugeng Teguh Santoso, Direktur Eksekutif Indonesia Police Watch (IPW).

 

Artikel ini semoga menjawab dan menguatkan babak baru Gelar Perkara.

 

Di balik kerumitan pasal dan hiruk-pikuk penyidikan perkara, ada satu forum yang kerap luput dari sorotan publik: Gelar Perkara Khusus. Ia adalah ruang internal di tubuh kepolisian, tempat penyidik, atasan, dan kadang pejabat eksternal duduk bersama memutuskan nasib suatu perkara. Apakah layak naik penyidikan, dihentikan, atau diredam? 

 

Namun pertanyaan mendasarnya bukan sekadar teknis: Apakah Gelar Perkara itu adil? Pertanyaan yang lebih radikal adalah: Apakah hukum -sebagai sistem dan institusi- benar-benar netral?

 

Untuk menjawabnya, kita perlu melongok ke dalam satu pendekatan hukum progresif yang sejak lama mengkritik “mitos netralitas hukum”: Critical Legal Studies (CLS). Aliran ini menolak pandangan bahwa hukum adalah sistem yang objektif dan bebas nilai. Sebaliknya, CLS melihat hukum sebagai produk dari kekuasaan yang telah dilembagakan, bukan sekadar alat pencari keadilan.

 

Hukum yang Tidak Pernah Netral

 

Banyak orang percaya bahwa hukum bekerja secara impersonal: siapa pun pelakunya, jika cukup bukti, pasti diproses. Namun pengalaman menunjukkan bahwa praktik Gelar Perkara sering kali justru memperlihatkan hal sebaliknya. Di sinilah hukum tidak lagi bekerja sebagai sistem rasional, tetapi sebagai arena negosiasi kekuasaan.

 

CLS menyebut ini sebagai bentuk indeterminacy -bahwa hukum tidak pernah benar-benar pasti, karena selalu terbuka terhadap penafsiran, dan penafsiran itu tak lepas dari ideologi, jabatan, atau kekuasaan politik.

 

Lihatlah bagaimana Gelar Perkara Khusus berlangsung: tanpa akses publik, tanpa catatan deliberatif yang dapat diuji, tanpa partisipasi korban atau masyarakat. Dalam konteks ini, hukum bekerja secara tertutup dan sangat bergantung pada struktur hierarkis institusinya. Publik hanya bisa menebak hasilnya dari ucapan juru bicara, bukan dari transparansi proses.

 

Gelar Perkara: Arena Kekuasaan, Bukan Forum Keadilan

 

Salah satu ciri khas CLS adalah kritik terhadap hukum sebagai alat dominasi. Hukum, dalam banyak hal, bukan sekadar teks atau norma, tapi merupakan bahasa kekuasaan yang telah dilembagakan. Gelar Perkara Khusus, dalam banyak kasus, menjadi ritual administratif untuk menutup akses terhadap keadilan substansial.

 

Ketika seorang pejabat diduga melakukan pelanggaran hukum, kita menyaksikan serangkaian gelar perkara yang berujung pada kesimpulan: tidak cukup bukti. Tetapi ketika rakyat kecil terlibat perkara sepele, proses hukum bisa melaju tanpa perlu digelar -langsung masuk penyidikan, dan kadang vonis.

 

CLS menyebutnya sebagai bentuk exclusionary legality -hukum yang hanya berlaku keras bagi yang lemah, dan lunak bagi yang berkuasa. Ini bukan kesalahan prosedur; ini adalah cerminan ideologis dari bagaimana hukum dikendalikan oleh struktur sosial-politik dominan.

 

Membongkar Mitos Proseduralisme

 

Selama ini kita diajarkan untuk percaya pada prosedur. Bahwa jika semua langkah hukum ditempuh sesuai aturan, maka keadilan akan tercapai. Namun CLS membongkar mitos ini: prosedur bisa dilembagakan justru untuk menghalangi keadilan.

 

Gelar Perkara adalah contoh sempurna: sebuah prosedur yang tampak sah, tapi tertutup dari pengawasan publik. Kita tidak tahu siapa yang bersuara, bagaimana argumen dibangun, dan apa pertimbangan hukumnya. Hasilnya? Kita dipaksa percaya bahwa proses itu adil?"tanpa pernah bisa mengujinya.

 

Sebagaimana dikatakan Roberto Unger, salah satu tokoh CLS, “coherence in law is often a disguise for domination.” Keserasian prosedural sering kali menyembunyikan dominasi kekuasaan atas hukum.

 

Urgensi Dekonstruksi dan Reformasi

 

Apa yang harus dilakukan? CLS bukan sekadar alat kritik, tapi juga seruan untuk dekonstruksi: membongkar cara-cara lama kita memahami hukum, lalu membangun ulang dengan fondasi yang lebih demokratis dan partisipatif.

 

Gelar Perkara semestinya dibuka untuk pengawasan eksternal. Korban dan masyarakat perlu dilibatkan, dan hasilnya harus dapat diuji secara publik. Tanpa transparansi, hukum akan terus menjadi alat kuasa, bukan instrumen keadilan.

 

Kita perlu sadar bahwa yang kita hadapi bukan sekadar praktik gelar perkara, tapi seluruh paradigma hukum yang menganggap dirinya netral padahal bias secara sistemik.

 

Penutup

 

Di era keterbukaan informasi, saat masyarakat makin sadar hukum, kita tidak bisa lagi mentolerir praktik hukum yang gelap dan eksklusif. Gelar Perkara Khusus hanyalah satu contoh dari banyaknya ruang dalam sistem hukum kita yang perlu diterangi.

 

Critical Legal Studies mengingatkan kita bahwa hukum tidak bisa dipahami sebagai kumpulan pasal. Ia adalah arena ideologis, tempat kebenaran bisa ditekan atas nama prosedur. Dan selama kita percaya pada mitos netralitas hukum, keadilan akan tetap menjadi ilusi. (*)


*Pengacara, analis hukum progresif, hak asasi manusia, kritik terhadap struktur hukum formalistik dan mantan wartawan  kepresidenan.


Fariz RM (tengah)/Ist 

 

OLEH: YUDI SYAMHUDI SUYUTI


SEBAGAI aktivis kemanusiaan, saya jadi tertarik mengamati sekaligus menganalisis dan mengomentari kasus penggunaan narkoba di Indonesia. Dan ini membuat saya tertarik untuk menguji secara sederhana melalui kasus Fariz RM yang telah ditangkap dan diadili selama 4 kali di pengadilan.

 

Meskipun, sangat banyak kasus menyangkut korban, penyalahgunaan hingga kecanduan narkoba di Indonesia. 

 

Kasus didakwa dan diadilinya Fariz RM sebagai pecandu yang telah 4 kali diadili, sebenarnya sangat sederhana. Di mana dalam Negara Indonesia yang didasari sila ke-2 Pancasila, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, (Hak Asasi Manusia termasuk di dalamnya), maka aturan perundangan yang seharusnya digunakan adalah UU tentang Narkotika.

 

Tentu dengan adanya UU tentang Narkotika sejak tahun 1976 hingga tahun 2009 sebagai aturan yang terakhir, lengkapnya UU 35/2009 tentang Narkotika, maka kasus tentang pengguna penyalahgunaan narkotika hingga pecandu, bukan merupakan tindakan pidana. 

 

Sehingga penerapan penindakan hukum pidana bagi para pengguna penyalahgunaan narkotika hingga pecandu sangat tidak layak dihukum pidana. Berbeda dengan pengedar gelap narkoba yang patut dikenakan hukum pidana dengan ancaman hukuman badan dan perampasan aset.

 

Hal ini juga dinyatakan oleh mantan Kepala BNN, Komjen (Pol), Dr. Anang Iskandar yang juga mantan Kabareskrim Polri, menyatakan bahwa penggunaan proses hukum pidana atas Fariz RM atau para pengguna dan pecandu narkoba sangatlah tidak tepat dan cenderung salah tindakan.

 

Meskipun KUHP mengatur tentang masalah penyalahgunaan narkotika.

 

Menurut kami sendiri, setiap kasus hukum, tentu tidak serta merta harus diatasi melalui penindakan hukum pidana meskipun ada aturan hukum di KUHP. Karena kasus tersebut tentu mesti dipastikan, apakah kasus tersebut merupakan benar-benar suatu kejahatan atau tidak.

 

Dan tentu perlu ada pembanding dalam aturan hukumnya. Karena keadilan adalah bagian atau unsur kemanusiaan dalam kehidupan ini, termasuk kehidupan bernegara.

 

Jika melihat pembanding yang ada di luar KUHP dan pelaksananya yang dijalankan Badan-Badan Peradilan Criminal Justice System, Undang-Undang tentang Narkotika di Indonesia yang merupakan ratifikasi dari hukum internasional, yaitu Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988 dengan perangkat pelaksananya dan fasilitas-fasilitasnya.

 

Di mana perangkat pelaksananya adalah Lembaga BNN (Badan Narkotika Nasional) dan Kementerian Kesehatan yang memiliki fasilitas Pusat Rehabilitasi Anti Narkotika yang pusatnya berada di RSKO (Rumah Sakit Ketergantungan Obat) dan cabangnya 1400-an tempat rehabilitasi di seluruh Indonesia, termasuk Puskesmas.

 

Namun ironisnya tempat-tempat rehabilitasi yang jumlahnya 1400-an kosong, karena tidak ada pasien. Pasiennya di dalam penjara yang proses hukumnya menghabiskan anggaran triliunan mulai dari penyelidikan, penyediaan sarana hingga pemenjaraannya. Negara rugi uang sosial. Lapas menjadi over capacity.

 

Bagi para pengedar gelap, mafia narkoba, tentu Negara wajib memberantas dengan pendekatan pidana yang hukumannya adalah hukuman badan atau pembatasan kebebasannya hingga perampasan aset, sesuai UU tentang Narkoba.

 

Namun bagi pengguna yang terdiri dari korban, pengguna, penyalahguna, dan pecandu, tindakan Negara adalah melalui tindakan medis, yaitu rehabilitasi.

 

Di negara-negara maju, atau negara-negara yang penyelenggara negaranya berpikiran maju dan manusiawi, korban, pengguna narkoba hingga pecandu tidak dihukum pidana. Di Indonesia, UU tentang Narkotika beserta lembaga dan sarana prasarananya telah ada, dan ini harus diterapkan juga di sosialisasi seluas-luasnya.

 

Kembali ke masalah Fariz RM, selayaknya Majelis Hakim memutuskan bahwa kasus Fariz RM dengan mengacu pada UU Narkotika adalah bukan pidana dan penyelesaiannya melalui keputusan rehabilitasi.

 

Masalah ini adalah masalah medis. Sehingga merupakan putusan berdasarkan keadilan, bukan putusan pidana yurisprudensi.

 

Dan jika ahli medis meneliti tingkat kecanduannya tinggi, rehabilitasi itu tidak terbatas waktu. Di Eropa, bagi pecandu yang tingkatnya tinggi, pemerintah justru memberikan obat seumur hidup dengan dosis yang rasional. Karena ada banyak pecandu narkoba yang jika langsung dihentikan malah mati.

 

Di Indonesia, tinggal menyesuaikan kondisinya. Akan tetapi yang patut digarisbawahi, bahwa masalah aturan pengguna atau pecandu narkoba itu adalah merupakan masalah medis. ***


*Koordinator Eksekutif JAKI Kemanusiaan Inisiatif

 

Ilustrasi/Ist 


Oleh : Arief Rachman


KEPOLISIAN Negeri Impian’ adalah gambaran harapan masyarakat akan sosok polisi yang profesional, berintegritas dan dekat dengan masyarakat. Ungkapan ini mewakili keinginan masyarakat untuk memiliki aparat penegak hukum yang tidak sekedar menegakkan aturan, namun juga terlibat aktif dalam kegiatan sosial, melindungi, mengayomi serta memberikan pelayanan terbaik. Inilah cita-cita ideal tentang kepolisian yang benar-benar menjadi ”Sahabat Masyarakat”.

 

Selasa, 1 Juli 2025 Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menggelar puncak perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Bhayangkara yang ke-79 dengan mengusung tema “Polri untuk Masyarakat”. Ditahun yang sama pula, melalui keterangan yang dikutip pada Senin, 10 Februari 2025, Civil Society for Police Watch melakukan penelitian mengenai tingkat kepuasan publik terhadap Polri yang menunjukkan bahwa kepercayaan publik serta kinerja Polri masih berada di bawah angka 50 persen. (Sumber ; MetroTV)

 

Oleh karena itu, kesempatan ini selayaknya digunakan untuk merefleksikan kembali perjalanan hidup Jenderal Hoegeng Imam Santoso, seorang figure kepolisian dalam sejarah bangsa Indonesia yang dikenal sebagai sosok yang jujur dan dihormati oleh masyarakat, sembari melakukan introspeksi sebagai proses evaluasi awal untuk dapat memahami bagaimana cara membangun kepercayaan publik, menciptakan citra dan reputasi yang positif, agar visi ’Kepolisian Negeri Impian’ dapat diwujudkan.

 

Pendekatan Sosial Terhadap Kepercayaan Publik

 

Dalam karyanya “Trust : The Social Virtues and the Creation of Prosperity”, Francis Fukuyama mengungkapkan bahwa kepercayaan sosial adalah dasar untuk menjaga kohesi sosial serta keberhasilan lembaga publik. Kepercayaan ini terbangun lewat konsistensi, transparansi, dan pertanggung jawaban.

 

Ketika kepolisian transparansi dalam setiap tindakan dan pilihan yang diambil, serta menerima tanggung jawab atas kesalahan yang mungkin ada, masyarakat akan bisa lebih percaya. Transparansi ini bisa dicapai dengan beberapa cara, seperti menyusun laporan tahunan yang terbuka, menyelesaikan kasus secara adil dan terbuka, terbuka dalam proses rekrutmen hingga promosi jabatan kepolisian dan lain sebagainya.

 

Menurut Sunshine dan Tyler, sikap keadilan dalam perkhidmatan kepolisian memberi impact kepada kepercayaan dan kepatuhan masyarakat. Semakin banyak masyarakat yang percaya bahwa kepolisian itu berkeadilan, maka semakin cenderung masyarakat untuk mengikuti aturan dan mendukung kepolisian. Ini menunjukan pentingnya menjaga dan meningkatkan standar profesionalitas dan netralitas.

 

Dapat dibayangkan, ketika masyarakat tidak percaya terhadap institusi penegak hukum, mereka cenderung menjauh dari petugas kepolisian dan berusaha mencari keadilan melalui cara-cara yang tidak resmi atau bahkan melanggar hukum. Hal ini menimbulkan siklus negatif, yang dimana ketidakpercayaan masyarakat semakin meluas di tengah tingginya tindakan ilegal. Sebaliknya, jika kepercayaan masyarakat tinggi, mereka lebih mau berkolaborasi dengan polisi, melaporkan kejahatan, dan mendukung penegakan hukum, yang pada akhirnya lingkungan aman dan harmonis tercipta dengan sendirinya.

 

Netralitas

 

Berdasarkan gagasan tentang keadilan dari John Rawls, keadilan sebagai perlakuan yang objektif menghendaki adanya lembaga yang dapat berfungsi sesuai dengan prinsip keadilan tanpa berpihak kepada kelompok tertentu. Netralitas tidak hanya diartikan sebagai ketidak berpihakan, lebih dari itu; ia menunjukan nilai-nilai kejujuran dan keadilan yang mendasar. Dari sudut pandang ini, netralitas kepolisian erat kaitanya dengan jaminan bahwa setiap langkah dan putusan yang diambil berlandaskan pada prinsip keadilan dan bebas dari pengaruh agenda politik maupun ekonomi yang spesifik.

 

Kepolisian sebagai sebuah lembaga harus beroperasi dengan cara seperti demikian, memastikan bahwa keputusan yang diambil tidak dipengaruhi oleh bias yang bisa merugikan keadilan. Netralitas juga berkaitan dengan tanggung jawab etis. Immanuel Kant dalam pandangan etika deontologisnya menekankan pentingnya tindakan yang dilakukan berdasarkan kewajiban moral serta prinsip yang bersifat universal. Hal ini berarti bahwa setiap tindakan dan keputusan harus didasari oleh hukum dan kode etik profesional, bukan kepentingan pribadi atau tekanan dari luar.

 

Tantangan untuk mempertahankan netralitas kepolisian dapat dilihat dari pola interaksi kekuasaan dan hukum. Michael Lipsky mencatat bahwa petugas di lapangan memiliki wewenang yang signifikan dalam membuat keputusan, tetapi perlu kebijaksanaan agar wewenang yang dijalankan tidak disalahgunakan. Sebab, penyalahgunaan bisa menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat.

 

Di Indonesia, keputusan kepolisian kerap kali kontroversial, ketika dipertemukan dengan kasus-kasus yang melibatkan para pejabat atau pengusaha. Artinya, kepolisian harus menunjukkan netralitas dan profesionalisme untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan memastikan hukum ditegakkan dengan adil.

 

Selanjutnya, netralitas kepolisian sangat diuji saat momentum demokrasi. Sering kali dugaan terhadap oknum kepolisian yang ikut terlibat mendukung calon tertentu mencuat ke permukaan, ini dapat merusak citra institusi. Oleh karena itu, penting bagi kepolisian untuk tetap bebas dari pengaruh politik dan memastikan semua tindakan sesuai hukum dan berkeadilan. Kepolisian harus menunjukkan bahwa penanganan setiap kasus dapat dipertanggungjawabkan secara etika dan prosedur.

 

Profesionalitas: Manifestasi Kepolisian Negeri Impian

 

Tantangan utama dalam mencapai profesionalisme di kepolisian adalah memastikan semua anggotanya memiliki integritas yang tinggi dan kemampuan yang baik. “The Soldier and the State”, oleh Samuel Huntington menyoroti betapa krusialnya pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk menjaga sikap profesionalitas. Hal ini berkaitan dengan elemen-elemen teknis serta perkembangan budaya yang mendukung nilai integritas dan etika.

 

Dalam lingkup kepolisian, profesionalisme berarti melaksanakan tugas dengan baik, tanpa korupsi dan dengan pemahaman hukum yang mendalam. Solutif penulis, menekankan pentingnya struktur hierarki yang jelas dan pelatihan berkelanjutan agar dapat bekerja secara efektif. Ini menunjukan setiap anggota kepolisian perlu mendapatkan pelatihan yang baik dan sistem penilaian yang adil untuk meningkatkan kemampuan mereka secara berkelanjutan.

 

Misalnya,  berkaca pada salah satu persoalan yang sering muncul terkait dengan minimnya kompetensi dalam menangani tindak pidana cyber atau kejahatan antar negara di tengah era digitalisasi. Artinya, dengan tantangan tugas kepolisian yang semakin kompleks, perlu perbaikan di banyak bidang, termasuk pembinaan, operasional dan pembangunan sumber daya manusia serta sarana dan prasarana juga harus menjadi perhatian.

 

Terutama, keberadaan petugas kepolisian sangat erat kaitanya dengan masyarakat. Insiden penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan, ketidakjelasan dalam penyampaian informasi mengenai suatu perkara, pelecehan seksual, tindakan yang tidak menyenangkan, serta penyelidikan perkara yang tidak berujung adalah contoh penyimpangan yang dilakukan oleh anggota kepolisian yang lambat laun menciptakan paradigma buruk bagi institusi.

 

Apalagi, kepolisian berperan penting dalam menciptakan keamanan dan ketertiban. Opini yang seharusnya ada adalah bahwa polisi menjadi teladan yang dapat di ikuti dan di andalkan untuk memberikan perlindungan serta pelayanan terhadap masyarakat. Jika terjadi penyalahgunaan kekuasaan dalam menjalankan tugas, hal ini dapat menimbulkan keraguan publik terhadap kemampuan polisi dalam melaksanakan fungsi utamanya sebagai pelindung dan pelayan. (*)

 

*Penulis adalah Pegiat Literasi dan Ketua Forum Cinta Polri Nusa Tenggara Barat


Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dan Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto (Foto Net) 

 

POLEMIK yang sengaja diciptakan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian soal perampasan empat pulau Aceh dan diberikan kepada Provinsi Sumatera Utara telah selesai. Berita terakhir di media yang beredar luas di publik menyebut keempat pulau tersebut sah milik Aceh [sebenarnya memang milik Aceh] setelah Presiden Prabowo Subianto turun tangan dan memastikan "cawe-cawe" ilegal Tito dipatahkan.

 

Meskipun secara hukum dan politik soal empat pulau dapat dikatakan selesai dan klir. Namun apakah persoalan ini benar-benar telah tuntas dan tidak membekas di hati rakyat Aceh? Jawabannya, belum tentu. Inilah susahnya mengobati luka hati rakyat Aceh.

 

Ulah Tito Karnavian yang notabene seorang pejabat tinggi negara merupakan representasi Pemerintah Pusat yang memindahkan pulau Aceh ke tangan Pemprovsu bukanlah sekadar salah teknis ataupun salah ketik. Tetapi sebuah kesalahan fatal, dan bagi nya harus menerima konsekuensi o diganjar kartu merah.

 

Lihatlah! Akibat dari kedunguan Tito menerbitkan surat keputusan haram itu suasana di Aceh terusik dan memanas. Padahal saat ini rakyat Aceh sedang berdoa bagi saudara-saudara mereka yang sedang menunaikan ibadah haji yang juga dalam kondisi centang perenang.

 

SK haram versi Kemendagri itu sangat prematur dan mengada-ada. Dalih tidak ditemukan dokumen (arsip) perjanjian lama antara Gubernur Aceh dan Sumut tahun 1992 sebagai dasar mengalihkan pulau itu ke Bobby Nasution (Gubsu saat ini) sangat tidak masuk akal bahkan sangat memalukan negara ini. Cerminan buruknya administrasi negara.

 

Secara psikologis dan ideologis, rakyat Aceh menilai tindakan Mendagri Tito Karnavian Cs sebagai bentuk pengkhianatan terhadap Aceh. Tirani pemerintah pusat dalam memegang kekuasaan dan hubungannya dengan daerah. Padahal Aceh bukan sembarang daerah bagi NKRI.

 

Goresan luka lama yang belum pulih, kini pusat mencoba untuk mengorek lagi luka baru dengan kesalahan yang seakan-akan tidak disengaja. Aksi Tito Karnavian Cs sangat berbahaya. Jika tidak segera dievaluasi, Tito akan menjadi duri dalam daging di dalam pemerintahan Prabowo Subianto.

 

Tulisan ini tidak perlu saya panjangkan. Namun satu hal yang sangat penting dan genting dilakukan oleh Gerindra dan Presiden Prabowo Subianto adalah secepatnya mencopot Mendagri Tito Karnavian sebagai tindak lanjut menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. MERDEKA! (republika)


Ustaz Dr. H. Muhammad Yahya Yopie Waloni/Ist  


OLEH : AHMADIE THAHA 

DI Masjid Darul Falah, Makassar Sulawesi Selatan, Jumat siang, 6 Juni 2025, udara masih harum oleh jejak pagi. Minyak wangi masih merebak dari baju gamis jamaah yang baru saja menunaikan salat Iduladha. Ketupat dan opor masih hangat dalam ingatan.

 

Belum lama mereka pulang sebentar ke rumah, mengganti baju koko, lalu kembali lagi ke masjid untuk salat Jumat -- karena hari raya tetap tidak membatalkan kewajiban mingguan.

 

Dan di atas mimbar, berdiri sosok yang suaranya dikenal lebih lantang dari toa masjid: Ustaz Dr. H. Muhammad Yahya Yopie Waloni, M.Th. Usianya menjelang 55 tahun.

 

Beliau berkhutbah tentang pengorbanan. Ayat demi ayat, hadits demi hadist, meluncur dari bibirnya seperti biasanya. Suaranya membakar, mengguncang, kadang-kadang juga menyulut kontroversi. 

 

Tapi siang itu, ada ketenangan aneh dalam suaranya. Ia bicara tentang Nabi Ibrahim dan Ismail, tentang ketundukan total pada kehendak Ilahi. Mungkin, tanpa disadari, ia sedang mengisyaratkan sebuah perpisahan.

 

Lalu -- seperti potongan film yang terlalu dramatis untuk kenyataan -- suara itu mengecil. Bibirnya seperti masih hendak bicara, tapi suaranya terhisap. Tubuhnya lunglai, kemudian jatuh menggebrak ke lantai mimbar.

 

Tak ada efek suara. Hanya kesunyian yang mendadak menggigit. Jemaah panik. Sujud pun tertunda. Shalat Jumat diinterupsi oleh kenyataan: sang khatib tak bergerak. Innalillahi wa inna ilayhi rajiun.

 

Meninggal di atas mimbar seperti itu adalah cita-cita sebagian pendakwah. Mungkin juga kita. Tapi sedikit yang betul-betul “dijemput” Allah saat masih menggenggam tugasnya.

 

Yahya Waloni, mantan pendeta yang menjadi pendakwah Islam, tampaknya telah menyelesaikan naskah hidupnya di titik paling dramatis. Di atas mimbar. Dalam khutbah tentang pengorbanan.

 

Namun, jangan buru-buru menjadikannya bak malaikat. Sosok ini adalah tokoh yang penuh warna  -- dan terkadang over --saturasi. Yahya Waloni bukan pendakwah kalem ala Ustaz Abdul Somad atau dai televisi yang sopan dan rapi seperti Aa Gym.

 

Ia dikenal sebagai juru bicara Islam “garis keras”, bersuara lantang, dan… yah, cukup senang menabrak tembok toleransi. Dalam daftar kontroversinya: menyebut kitab suci agama lain sebagai palsu, sehingga dijatuhi vonis lima bulan penjara karena ujaran kebencian.

 

Dalam dunia medsos, ia dijuluki “Ustaz Pansos” -- alias Panjat Sosial, label sinis yang, ironisnya, malah menambah popularitasnya. Tapi, apakah semua itu membatalkan nilai perjuangannya? Belum tentu. Tentu tidak.

 

Fakta tak bisa dibantah: ia adalah seorang mualaf yang memilih jalan Islam dengan total. Islam kaffah, bahkan bersama istrinya yang juga muallafah.

 

Ustaz yang lahir di kota Manado pada 30 November 1970 dari keluarga Kristen Minahasa yang taat ini pernah memimpin sekolah teologi Kristen. Lalu ia meninggalkan semuanya untuk menyatakan syahadat.

 

Tidak mudah menjadi mualaf di usia matang, apalagi setelah menjadi tokoh dalam agama sebelumnya. Ia kehilangan teman, posisi, dan -- mungkin juga -- rasa aman. Tapi ia tetap maju. Dalam gaya yang kadang bikin jemaah mengangguk, kadang menggeleng, tapi tak pernah membuat mereka diam.

 

Dan di sinilah kita perlu jujur: tak semua yang keras itu jahat, tak semua yang lembut itu benar. Yahya Waloni adalah potret Islam yang bergulat dengan realitas pluralisme di Indonesia, tapi punya batasan akidah yang tak bisa ditawar.

 

Sebagian melihatnya sebagai pembela akidah. Sebagian lagi melihatnya sebagai pembelah harmoni. Ia adalah semacam refleksi keras kepala dari kita semua yang tak selesai berdamai dengan sejarah konversi, trauma kolonial, dan luka-luka teologis.

 

Tapi apa pun penilaian kita, kematiannya di mimbar adalah simbol yang tidak bisa diremehkan. Bayangkan: ia menghembuskan napas terakhir di hadapan jemaah. Di atas mimbar. Di Hari Raya, persis saat jutaan haji bersatu di padang Arafah. Di sela khutbah tentang pengorbanan. Dan di hari Jumat!

 

Apakah itu kebetulan? Atau skenario ilahi dengan naskah paling puitis sekaligus suci?

 

Tubuhnya memang dilarikan ke RS Bahagia -- nama rumah sakit yang sangat ironis dalam konteks duka. Tapi bagi sebagian orang, terutama mereka yang percaya bahwa hidup adalah medan jihad ideologis, ia tidak wafat biasa. Ia syahid di jalan dakwah.

 

Dan seperti biasa, setelah jenazah dikafani, media sosial pun mulai mengkafani narasi. Ada yang mengenangnya sebagai pahlawan iman. Ada yang mengecamnya sebagai provokator.

 

Tapi mungkin, Yahya Waloni akan tersenyum dari alam sana, sebab seperti yang biasa ia ucapkan: “Biar saya yang maki, yang penting kamu mikir.” Kini, setelah ia tak bisa bicara lagi, kita yang mesti berpikir.

 

Tentang cara menyampaikan dakwah tanpa melukai. Tentang bagaimana menjaga akidah tanpa membakar jembatan kemanusiaan. Dan tentang bagaimana, kadang, satu nyawa yang padam bisa lebih nyaring dari seribu ceramah.

 

Selamat jalan, Ustaz Yahya Waloni. Akhir hidupmu mungkin bukan akhir damai. Tapi siapa tahu, itu awal dari percakapan baru -- yang lebih jujur, lebih terbuka, dan lebih manusiawi, tentu tanpa pernah harus mengorbankan akidah. (*)

 

(Penulis adalah Wartawan Senior dan Pengasuh Ma’had Tadabbur Quran)

 

Mendiang Munir Said Thalib/Istimewa 


OLEH : KHAIRUL A. EL MALIKY

DI NEGERI yang katanya demokrasi ini, kadang kita merasa hidup seperti di film noir: penuh kabut, penuh misteri, dan selalu ada aktor gelap yang tak pernah tertangkap kamera. Salah satu episode tergelap dari serial panjang demokrasi pura-pura kita adalah hilangnya Munir Said Thalib, seorang aktivis HAM yang suaranya lebih tajam dari peluru dan lebih keras dari toa masjid di subuh hari.

 

BERITA TERKAIT:

Munir bukan aktivis sembarangan. Ia adalah mimpi buruk para algojo berseragam rapi, mimpi buruk mereka yang senang menyiksa dalam diam, dan trauma masa lalu bagi institusi yang alergi terhadap kritik. Tapi dalam perjalanan menuju Belanda, suara itu dibungkam. Permanen.

 

 

Mari kita ingat lagi kisah ini, sebelum sejarah menulisnya dengan tinta yang telah dipesan oleh para pelupa. Atau lebih buruk, oleh mereka yang justru ingin kisah Munir hilang selamanya dari buku pelajaran anak cucu kita.

 

Episode Pembunuhan yang Sangat Rapi 

 

Pada 7 September 2004, Munir tewas dalam penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam. Bukan karena serangan jantung, bukan karena mabuk udara, apalagi karena doa para koruptor yang mujarab. Ia tewas karena arsenik—racun yang lebih sering dipakai di film ketimbang di dunia nyata. Tapi nyatanya, ada yang masih cukup kejam dan cukup pengecut untuk membunuh dengan cara itu.

 

Awalnya, banyak yang menyangkal bahwa itu pembunuhan. Tapi autopsi independen di Belanda membuktikan: arsenik dalam tubuh Munir cukup untuk membunuh dua ekor gajah dewasa. Lalu siapa yang punya akses? Siapa yang bisa menyelundupkan racun ke dalam sistem penerbangan internasional tanpa dicurigai?

 

Kita tidak perlu jadi Sherlock Holmes untuk tahu: hanya orang dengan kuasa, wewenang, dan jejaring yang bisa melakukannya. Tapi anehnya, hingga dua dekade lebih berlalu, mereka yang betul-betul di puncak kuasa masih duduk nyaman. Bahkan mungkin masih menyusun skenario kematian versi mereka sendiri.

 

Garuda Indonesia, Pilot, dan Skenario yang Timpang

 

Polisi waktu itu menangkap Pollycarpus Budihari Priyanto, seorang pilot Garuda Indonesia. Ia dijerat dan dijadikan aktor utama dalam drama pembunuhan ini. Katanya, Polly ini tiba-tiba jadi extra crew dalam penerbangan yang sama dengan Munir. Bayangkan, seorang pilot yang mestinya di balik kokpit, malah jadi penumpang yang duduk berdekatan dengan target. Seperti penjahat yang tiba-tiba jadi penonton di bioskop, tapi bawa racun di tas.

 

Polly akhirnya divonis bersalah dan dipenjara. Tapi pertanyaan dasarnya belum dijawab: siapa yang menyuruhnya?

 

Nama BIN (Badan Intelijen Negara) sempat disebut. Bahkan ada dugaan keterlibatan pejabat tinggi saat itu. Tapi setiap kali benang merah hampir terlihat jelas, entah kenapa ada tangan tak terlihat yang memutusnya.

 

Saksi kunci mendadak lupa. Dokumen menghilang. Bukti melempem. Bahkan Pollycarpus sendiri sempat bebas sebelum akhirnya dipenjara kembali. Dan akhirnya meninggal tahun 2020 karena Covid-19. Ironi atau keadilan ilahi? Entahlah.

 

Negara yang Lupa, atau Sengaja Melupakan?

 

Setelah Munir wafat, apa yang dilakukan negara? Banyak. Banyak berpura-pura. Komnas HAM bersuara, LSM bergerak, dan Presiden SBY saat itu membentuk TPF (Tim Pencari Fakta). Tapi ketika TPF memberikan laporan, laporan itu… hilang. HILANG. Seperti disedot blackhole birokrasi. Ketika ditanya, pejabat negara mengangkat bahu. Tidak tahu. Tidak ingat. Tidak mau tahu. Apakah kita sedang menghadapi negara dengan Alzheimer stadium akhir?

 

Padahal, laporan itu adalah kunci. Kunci menuju siapa dalang pembunuhan Munir. Tapi seperti biasa, kunci itu disembunyikan, dilempar ke laut, atau dikubur bersama ingatan kolektif bangsa ini yang pendeknya seperti status WhatsApp.

 

Lucunya, Mahkamah Agung akhirnya memerintahkan agar laporan TPF dipublikasikan. Tapi pemerintah, dengan alasan yang entah dapat dari mimpi siapa, tetap tidak mau. Bahkan Menkopolhukam kala itu mengatakan, “Laporan itu tidak ada.” Padahal, jejak digitalnya bertebaran. Saksi hidupnya masih ada. Tapi negara menutup mata seperti balita yang tidak mau makan brokoli.

 

Srikandi yang Tak Mau Diam

 

Di tengah gelapnya birokrasi, Suciwati—istri Munir—muncul sebagai lilin kecil yang tak kunjung padam. Ia tidak menyerah. Ia menuntut keadilan, bersuara ke mana-mana, dari pengadilan hingga media internasional. Ia adalah simbol bahwa kebenaran tidak akan pernah benar-benar mati, selama masih ada orang yang percaya padanya.

 

Suciwati membentuk Omah Munir, sebuah museum HAM di Batu, Malang. Di tempat itu, anak-anak bisa belajar bahwa ada seseorang yang dibunuh karena membela hak orang lain. Bahwa keadilan tidak selalu menang, tapi harus selalu diperjuangkan. Omah Munir bukan sekadar rumah, tapi tugu ingatan di tengah bangsa yang suka amnesia.

 

Pemerintah Berganti, Tapi Keadilan Masih Jauh

 

Dari SBY ke Jokowi, dari Jokowi ke siapa nanti, pertanyaannya tetap sama: di mana keadilan untuk Munir? Jokowi pernah berjanji saat kampanye akan menuntaskan kasus HAM, termasuk Munir. Tapi seperti janji-janji lain yang ditiup angin, janji itu tinggal kenangan. Tidak ada gebrakan. Tidak ada keseriusan. Hanya peringatan tahunan yang kian sepi, ditemani lilin dan spanduk yang sama dari tahun ke tahun.

 

Bahkan kita sampai pada titik di mana kasus Munir hanya menjadi bahan upacara peringatan. Setiap 7 September, orang akan menulis “Menolak Lupa” di media sosial, lalu lupa keesokan harinya. Negara ikut-ikutan pura-pura prihatin, padahal kalau serius, bisa kok mengusut. Tapi ya itu tadi, siapa yang mau menggali jika galiannya akan menelanjangi elite sendiri?

 

Menolak Lupa adalah Tindakan Revolusioner

 

Di negeri ini, menolak lupa bukan sekadar kenangan. Itu tindakan politis. Karena lupa adalah strategi kekuasaan. Mereka yang ingin bertahan di atas, akan selalu menghapus sejarah yang membahayakan. Kasus Munir terlalu sensitif, terlalu telanjang, terlalu menggambarkan betapa kotornya dapur kekuasaan.

 

Tapi kita sebagai warga negara tidak boleh tunduk. Karena sekali kita lupa, maka kejahatan itu akan dianggap biasa. Kita akan menciptakan budaya impunitas. Bahwa membunuh orang baik itu sah, asal punya kekuasaan. Bahwa aktivisme bisa dibunuh, asal pakai racun yang tak terlihat. Bahwa keadilan hanya mainan anak kecil di taman kanak-kanak.

 

Menolak lupa adalah bentuk perlawanan. Mengingat Munir adalah deklarasi bahwa kita tidak takut. Bahwa meski negara pura-pura tuli, kita akan tetap berteriak.

 

Dunia Internasional Menyaksikan, Tapi Diam

 

Banyak organisasi internasional yang tahu pembunuhan Munir adalah pelanggaran hak asasi berat. Amnesty International, Human Rights Watch, bahkan PBB—semua pernah berkomentar. Tapi tekanan mereka seolah menabrak tembok baja diplomasi Indonesia. Tak ada sanksi, tak ada desakan serius. Dunia memilih diam, karena ya… Indonesia pasar besar. Siapa yang mau ganggu?

 

Dunia lebih peduli pada minyak, tambang, dan pasar. Bukan pada satu nyawa aktivis yang dibungkam. Ini ironi global. Aktivis dipuja setelah mati, tapi diabaikan saat hidup. Dan negara-negara yang mengaku demokratis pun memilih bersikap seperti turis: datang, selfie, lalu pergi tanpa tanggung jawab.

 

Munir Sebagai Simbol yang Tidak Boleh Mati

 

Munir bukan hanya seorang manusia. Ia adalah simbol. Simbol keberanian dalam melawan sistem. Simbol bahwa kebenaran bisa disuarakan, bahkan ketika semua orang memilih diam. Dan karena itulah ia dibunuh. Karena suara seperti itu mengganggu. Tapi simbol tidak bisa dibunuh semudah itu.

 

Selama kita terus menyebut namanya, mengenang perjuangannya, dan menuntut keadilan atas kematiannya, maka Munir hidup. Ia hidup dalam setiap mahasiswa yang turun ke jalan. Dalam setiap jurnalis yang menulis tanpa takut. Dalam setiap warga yang berani mengkritik penguasa meski ancamannya nyata. Munir hidup di dada orang-orang yang tidak pernah diam meski ditekan.

 

Negara yang Sakit dan Demokrasi yang Sakit Jiwa

 

Kalau negara ini sehat, pembunuh Munir sudah dihukum. Kalau demokrasi ini waras, dalang kasus Munir sudah dilucuti jabatannya. Tapi kenyataannya, kita hidup dalam sistem yang menganggap pelanggar HAM sebagai calon pemimpin. Yang lebih sibuk membangun IKN ketimbang membangun keadilan.

 

Setiap pemilu, para kandidat bicara HAM, tapi itu cuma brosur. Setelah berkuasa, mereka jadi bagian dari masalah. Yang dulu berjanji membongkar, kini duduk satu meja dengan pembongkar harapan.

 

Jadi, kalau kau merasa marah, kecewa, atau jijik—itu wajar. Itu sehat. Karena negara ini memang sedang tidak sehat. Demokrasi kita sudah seperti zombie: masih berjalan, tapi tanpa jiwa.

 

Keadilan Itu Tidak Mati, Tapi Ditinggalkan

 

Munir telah tiada. Tapi perjuangannya adalah alarm keras bahwa demokrasi tanpa keadilan hanyalah ilusi. Kita tidak boleh berhenti bertanya. Tidak boleh berhenti menulis. Tidak boleh berhenti menuntut. Karena satu-satunya hal yang membuat kejahatan menang adalah ketika orang baik diam.

 

Hari ini kita menolak lupa. Besok kita suarakan lagi. Sampai para pembunuh itu tidak bisa tidur nyenyak. Sampai sejarah tidak ditulis oleh mereka yang membunuhnya.

 

Munir mungkin sudah dibungkam. Tapi kita tidak. (*)

 

*Pengarang novel, pemerhati sosial dan budaya, esais, dan cerpenis


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.