Presiden Prabowo Subiant. (Foto: Artificial Inteligence)
OLEH: AHMADIE THAHAADA
ADA mazhab kapitalisme, sosialisme, liberalisme,
neoliberalisme. Semua sudah kita dengar dalam buku teks. Tapi tiba-tiba, di
bulan Juli 2025, dari mulut Presiden Prabowo Subianto lahir istilah baru:
“serakahnomics.”
Sebuah mazhab ekonomi yang tak pernah ada di buku Samuelson
atau di kurikulum Fakultas Ekonomi. Bahkan Maslow pun, dengan piramidanya, tak
pernah membayangkan bahwa di puncak kebutuhan manusia ternyata bukan
“aktualisasi diri,” melainkan “aktualisasi keserakahan.”
Saya mencatat, Prabowo menyebut kata itu berkali-kali: 20
Juli di Kongres PSI di Solo, 21 Juli di Klaten saat meresmikan Koperasi Desa
Merah Putih, 23 Juli di Harlah PKB di Jakarta. Lalu puncaknya 15 Agustus di
Sidang Kenegaraan di Senayan.
Luar biasa konsisten Prabowo dengan istilah yang
diperkenalkannya. Hingga, seakan-akan “serakahnomics” sedang dipromosikan
seperti sebuah merek baru, meski konotasinya negatif dan penuh ancaman. Saking
seringnya diucapkan, istilah itu nyaris layak masuk KBBI.
Bersama promosi itu, ancaman demi ancaman pun meluncur: dari
“akan saya sita penggiling padi nakal” hingga “tidak ada ruang bagi pelaku
serakahnomics.”
Masalahnya, rakyat sudah kenyang dengan ancaman yang tak
pernah jadi kenyataan. Seperti parang yang terlalu sering dihunus tapi tak
pernah menebas, ujungnya jadi tumpul.
Rakyat pun bertanya: apakah ancaman itu juga berlaku bagi
para oligarki tanah yang menguasai lebih dari 7 juta hektare lahan sawit, di
mana 1 persen perusahaan mengendalikan hampir 50 persej konsesi?
Apakah juga berlaku bagi segelintir konglomerat yang
menguasai 70 persen aset perbankan nasional? Atau bagi gurita bisnis tambang
dan energi yang dikuasai beberapa keluarga politik-ekonomi? Bukankah semua itu
masuk kategori keserakahan?
Jika “serakahnomics” benar-benar musuh negara, maka logikanya
para oligarkilah yang paling layak diancam. Namun publik khawatir:
jangan-jangan yang disita nanti hanya penggilingan padi milik rakyat kelas
menengah.
Itu pun baru ancaman omon-omon belaka. Sementara itu, para
raksasa pemilik jutaan hektare lahan tetap duduk nyaman di kursi direksi,
sambil tersenyum melihat ancaman presiden berakhir seperti guntur tanpa hujan.
Selain itu, pertanyaan lain pun menggelitik: apakah ini
sekadar pencitraan politik, sebuah “branding” untuk menunjukkan keberpihakan
pada rakyat. Ataukah sungguh ini langkah pembongkaran keserakahan ekonomi yang
telah berakar puluhan tahun?
Mari pakai logika angka. Menurut Presiden, praktik nakal di
penggilingan padi menyebabkan kerugian Rp100 triliun per tahun. Angka itu
setara dengan bisa memperbaiki 100 ribu sekolah. Mengapa hanya itu yang
disebut?
Masalahnya lagi bahwa sudah bertahun-tahun kita mendengar
angka kerugian triliunan akibat korupsi, mafia, dan kartel. Bukankah negeri ini
piawai mengubah angka triliun menjadi sekadar alasan tap in di sidang DPR,
tanpa hasil konkret?
Maka, jika benar Rp100 triliun atau sebutkan angka lebih
besar lainnya bisa dipulihkan, rakyat tidak lagi menunggu renovasi sekolah
bocor sambil berdoa agar anak-anak tidak belajar di ruang kelas becek. Tapi,
itu terjadi kalau ancaman Prabowo bukan sekadar omon-omon.
Dalam teori ekonomi, keserakahan biasanya dibungkus eufemisme
“rational self-interest.” Adam Smith bilang, kalau tiap individu mengejar
kepentingannya, tangan gaib akan menyeimbangkan pasar.
Tapi Prabowo tampaknya ingin membuka tabir bahwa tangan gaib
itu sering berubah menjadi “tangan jahil” yang menimbun beras di gudang lalu
menjualnya sebagai beras premium.
Maslow hanya bicara soal kebutuhan sandang, pangan, papan,
hingga aktualisasi diri. Tapi Nabi Muhammad SAW bersabda jauh lebih relevan:
“Bukanlah kaya itu dengan banyaknya harta, tetapi kaya adalah hati yang merasa
cukup.” (HR. Bukhari-Muslim).
Hadits ini seolah menampar wajah serakahnomics, sebab dalam
mazhab itu, yang dianggap mulia bukan hati yang cukup, melainkan gudang yang
penuh.
Sarkasme memang mudah, tapi solusi jauh lebih sulit. Jika
Presiden serius, maka jargon “serakahnomics” perlu ditopang tiga hal.
Pertama, tindakan hukum nyata. Kartel pangan, penimbun, dan
spekulan jangan hanya diancam, tapi benar-benar diseret ke meja hijau. Bila
perlu, beri tontonan nasional, bukan sekadar konferensi pers.
Kedua, reformasi sistem distribusi. Koperasi jangan hanya
jadi kata sakti di pidato. Harus diberi insentif, perlindungan, dan kapasitas
manajemen agar mampu melawan raksasa-raksasa penggilingan.
Ketiga, pendidikan anti-serakah. Jika tiap tahun ada Rp100
triliun bocor karena rakus, lebih penting lagi mendidik generasi muda agar
tidak mengulang pola yang sama.
Bayangkan, jika pendidikan karakter digabung dengan program
makan bergizi gratis, anak-anak tidak hanya kenyang gizinya, tapi juga kenyang
nilai keadilan.
Akhirul kalam, di panggung politik istilah baru sering lahir
demi citra. Tapi rakyat tidak makan istilah, rakyat makan nasi. Jika benar
“serakahnomics” ingin dibasmi, maka buktinya harus sampai ke meja makan, bukan
berhenti di mimbar DPR.
Humor pahitnya begini: mungkin kelak Prabowo bisa menulis buku
teks baru, “Serakahnomics 101: Dari Kartel ke Koperasi.” Namun rakyat akan
bertanya lebih serius: apakah ini hanya retorika, atau benar-benar revolusi?
Kalau jawabannya sungguh-sungguh, mungkin untuk pertama kalinya mazhab baru ini akan mati sebelum berkembang. Dan itu justru kabar baik bagi republik yang sudah terlalu kenyang dengan keserakahan. **
Penulis adalah Wartawan
Senior dan Kolumnis