Pakar Telematika Roy Suryo bersama Tim Pembela Ulama dan
Aktivis seusai mengikuti gelar perkara khusus dugaan ijazah palsu Joko Widodo
di Bareskrim Mabes Polri. (Foto: Sindo/Arif Julianto)
OLEH: FIRMAN TENDRY
MASENGI
RABU, 9 Juli 2025, Gelar Perkara Khusus terkait dugaan ijazah
palsu Presiden Joko Widodo resmi digelar. Tapi alih-alih menghadirkan transparansi,
negara justru memperagakan kebungkaman terstruktur. Tanpa dokumen asli, tanpa
pengujian terbuka, tanpa pihak independen -publik hanya disuguhi kesimpulan
sementara internal yang menggantung di udara. Ini bukan proses hukum. Ini
penyesatan yang dilembagakan.
Dalam perkara pidana, hukum tidak memberikan ruang untuk
pembuktian yang kabur. In criminalibus probationes debent esse luce clariores
-dalam pidana, bukti harus lebih terang dari cahaya. Namun dalam perkara ini,
bukti malah diselubungi oleh prosedur dan diam administratif. Negara meminta
rakyat percaya, tanpa membuka apa yang seharusnya bisa diuji: dokumen asli
ijazah.
Bila yang dipakai sebagai dasar hanya fotokopi, pernyataan
lembaga, atau dokumen digital, maka dalil tegas berlaku: Probatio ficta, probatio
nulla est -pembuktian fiktif adalah pembuktian yang batal demi hukum.
Jika negara gagal menunjukkan bukti otentik, maka seluruh
klaim tentang keaslian ijazah kehilangan nilai legitimasi. Ini bukan hanya
cacat administratif.
Ini adalah luka dalam pada sistem kenegaraan yang seharusnya
bertumpu pada transparansi dan kepercayaan publik.
Gelar perkara tanpa bukti adalah ironi. Ia disebut “khusus”,
tapi yang ditampilkan justru penghindaran terhadap pertanyaan paling mendasar:
Mana bukti aslinya? Siapa yang memverifikasinya? Mengapa tidak diuji terbuka?
Ketika sistem penyidikan tidak mampu lagi menjawab pertanyaan
dasar, maka konstitusi memberi ruang bagi mekanisme yang lebih tinggi: Hak
Subpoena DPR RI. DPR, sebagai lembaga representatif, memiliki kewenangan
memanggil pihak-pihak terkait secara paksa dan menuntut dokumen otentik,
termasuk menguji ijazah asli yang menjadi sumber polemik. Jika negara eksekutif
menutup ruang terang, maka legislatif wajib membuka paksa jendela hukum.
Apakah kita akan terus membiarkan republik ini berdiri di
atas dokumen yang tidak bisa dibuktikan? Apakah kekuasaan publik masih bisa
dianggap sah jika prasyarat pencalonan presiden pun tidak dapat diverifikasi
secara ilmiah?
Kebenaran bukan milik negara. Ia milik publik. Dan jika
negara menolak membuktikannya, rakyat berhak memaksanya. **
*Advokat, aktivis Prodem.