Konferensi pers Forum Purnawirawan TNI yang menuntut
pemakzulan Wapres Gibran Rakabuming Raka, Jakarta Selatan, Rabu (2/7). (CNN
Indonesia/Patricia Diah)
JAKARTA — Forum Purnawirawan TNI mengancam
akan menduduki Gedung DPR/MPR jika surat tuntutan pemakzulan Wakil Presiden RI
Gibran Rakabuming Raka tidak segera diproses.
Surat tuntutan kepada lembaga perwakilan rakyat tersebut
dikirimkan forum pada tanggal 26 Mei 2025 yang ditujukan kepada Ketua MPR dan Ketua
DPR.
Surat tersebut ditandatangani oleh empat purnawirawan TNI,
yakni Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan,
Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, dan Laksamana TNI (Purn) Slamet
Soebijanto.
"Kalau sudah kita dekati dengan cara yang sopan, tapi
diabaikan, enggak ada langkah lagi selain ambil secara paksa, kita duduki MPR
Senayan sana, oleh karena itu saya minta siapkan kekuatan," kata mantan
Kepala Staf TNI AL, Laksamana (Purn) Slamet Soebijanto di Jakarta Selatan, Rabu
(2/7).
Dalam kesempatan sama, mantan Wakil Panglima TNI Jenderal
(Purn) Fachrul Razi mengklaim pemakzulan terhadap Gibran juga sudah memenuhi
syarat seperti yang diatur dalam Pasal 7A UUD 1945.
Pasal 7A itu berbunyi
'Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik
apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden'.
"Secara nyata ya itu satu, dia sudah melakukan hal-hal
yang sangat memalukan, apa dalam bahasa Undang-Undang itu disebut hal-hal
tercela. Kedua, dia melakukan korupsi meskipun belum terbukti. Tapi kalau kita
lihat, kita dengar bahwa segala hal yang disampaikan, rasanya enggak
terbantahkan, itu terbukti," tutur Fachrul Razi yang juga pernah menjadi
Menteri Agama tersebut.
"Dan selanjutnya yang ketiga, bahwa tidak lagi memenuhi
syarat sebagai wakil presiden. Itu disebut nyata di dalam Pasar 7A
Undang-Undang Dasar 45. Jadi kalau dari aspek itu saya kira sudah terpenuhi,
tinggal sebetulnya DPR mengambil langkah-langkah mengusut apa betul sesuai itu,
dan kalau sudah saya kira enggak usah tunggu lama-lama lah," imbuhnya.
Lebih lanjut, Fachrul pun mendesak parlemen untuk segera
memproses surat berisi tuntutan pemakzulan terhadap Gibran selaku wapres.
"Kasihan bangsa ini, apa jadinya bangsa ini. Nanti jadi
bahan ketawaan negara lain kita ini. Dipimpin oleh tamatan SMP, yang enggak
jelas juga ilmunya, yang mengaku bahwa dia enggak pernah baca-baca pak, enggak
ada budaya baca di rumah kami, kata beliau kan ya. Mungkin budayanya, budaya
main game," ucap dia.
Secara umum, surat pemakzulan dari purnawirawan TNI itu
berisi pernyataan bahwa Gibran yang merupakan putra Presiden ke-7 Joko Widodo
itu telah melanggar hukum dan etika publik.
Menurut mereka atas dasar konstitusi, etika kenegaraan, dan
prinsip demokrasi, surat itu mengusulkan kepada MPR dan DPR memproses
pemakzulan (impeachment) terhadap
Wakil Presiden berdasar ketentuan hukum yang berlaku.
Terkait surat itu, Ketua DPR RI Puan Maharani mengaku belum
menerimanya. Namun, ia memastikan akan membaca dan memproses surat tersebut
sesuai mekanisme.
"Surat belum kita terima karena baru hari Selasa dibuka
masa sidangnya, masih banyak surat yang menumpuk, namun nanti kalau sudah
diterima tentu saja kita akan baca dan kita akan proses sesuai dengan
mekanismenya," kata Puan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (1/7).
Puan juga mengaku belum mengetahui apakah surat tersebut
sudah diterima oleh Setjen MPR dan DPD.
"Jadi kita lihat dulu bagaimana dan seperti apa dan
apakah MPR dan DPD sudah menerima, saya belum berkoordinasi dengan, kesekjenan
belum berkoordinasi dengan kesekjenan MPR dan DPD," ujarnya.
Gibran sejauh ini belum memberikan komentar langsung terkait
hal tersebut. Sementara itu, bulan lalu, Jokowi mengatakan pemilihan kepala
negara di Indonesia dilakukan dalam satu paket koalisi. Dan, sambungnya, wacana
pemakzulan yang muncul hanya dinamika politik yang biasa saja.
"Pemilihan presiden dan wakil presiden kemarin, kan,
satu paket. Bukan sendiri-sendiri," kata Jokowi saat ditemui di
kediamannya usai salat Iduladha, Jumat (6/6).
Meski demikian, Jokowi menilai upaya pemakzulan anaknya itu
sebagai dinamika politik biasa.
"Bahwa ada yang menyurati seperti itu, itu dinamika
demokrasi kita. Biasa saja. Biasa," kata Jokowi.
Lebih lanjut, Jokowi menegaskan, Indonesia memiliki mekanisme
ketatanegaraan untuk memakzulkan kepala negara. Ada syarat-syarat ketat yang
harus dipenuhi untuk melengserkan presiden maupun wakilnya.
"Pemakzulan itu harus presiden atau wakil presiden
misalnya korupsi, atau melakukan perbuatan tercela, atau melakukan pelanggaran
berat. Itu baru [bisa dimakzulkan]," kata dia. (cnni)